Armand Suparman Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) menilai, penolakan sejumlah gubernur melantik penjabat bupati usulan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) akibat pemerintah pusat belum membuat aturan teknis pemilihan penjabat kepala daerah.
“Kami melihat persoalan itu bersumber dari tidak adanya regulasi teknis sebagaimana yang diamanatkan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK),” ujarnya di Jakarta, Selasa (24/5/2022).
Menurut Armand, sampai hari ini pemerintah belum menjalankan Putusan MK yang memerintahkan pembentukan aturan teknis untuk pengisian penjabat kepala daerah.
“Berhadapan dengan situasi ini, KPPOD mendorong pemerintah pusat segera mengeluarkan regulasi itu. Apakah nanti berupa Peraturan Mendagri atau lebih kuat lagi dalam Peraturan Pemerintah. Yang jelas, regulasi teknis itu harus ada,” tegasnya.
Lebih lanjut, dia menyarankan pemerintah mengambil langkah persuasif untuk menyelesaikan polemik penolakan gubernur melantik penjabat bupati.
“Kami mendorong pemerintah pusat untuk mengambil langkah persuasif karena memang kalau mengambil langkah tegas, yang menjadi pertanyaan, regulasi mana yang dirujuk,” imbuhnya
Dia khawatir kalau masalah tersebut tidak segera diselesaikan akan menjadi contoh bagi gubernur lain menolak melantik penjabat kepala daerah di bawahnya.
“Yang kami khawatirkan nanti ke depan penolakan itu bisa diambil contoh oleh gubernur-gubernur yang lain,” katanya.
Sebelum terjadi persoalan itu, Puan Maharani Ketua DPR RI sudah mengingatkan pemerintah supaya proses seleksi penjabat kepala daerah dilakukan secara transparan, dan terbuka untuk partisipasi publik.
“Siapkan sarana yang memadai kalau masyarakat ingin memberi masukan dan lakukan penyaringan secara terukur dan terbebas dari kepentingan politik,” ucap Puan di Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta.
Legislator PDI Perjuangan itu berharap pemerintah cermat dalam proses penyaringan dan menetapkan penjabat kepala daerah, berdasarkan kemampuan yang sesuai dengan karakteristik daerah.
Menurutnya, pemerintah wajib menetapkan penjabat kepala daerah yang memahami kebutuhan sosial dan ekonomi di daerah yang akan dipimpin.
Hal senada diungkapkan Siti Zuhro Peneliti Senior BRIN. Dia mengatakan, penolakan atas calon panjabat pilihan Mendagri sudah diprediksi sebelumnya.
“Jangan sampai resistensi dari satu dua daerah akan menjadi resistensi secara kolektif. Itu artinya daerah sudah mulai berontak terhadap pemerintah pusat yang dianggap semena-mena. Seolah menafikan bagaimana demokrasi partisipatoris yang telah dilalui oleh mereka dengan susah payah, lalu rekrutmen pejabat bertahun-tahun atas nama mereka saja,” kata peneliti yang akrab disapa Wiwiek.
Selain itu, dalam pemilihan penjabat kepala daerah, pemerintah tidak memiliki payung hukum.
“MK minta Kemendagri untuk membuat aturan pelaksana untuk jadi rujukan. Nah, itu belum dibikin. Pembentukan aturan teknis terkait pengisian penjabat kepala daerah merupakan mandat dari putusan MK Nomor 67/PUU-XX/2022,” jelasnya.
Terpisah, Djohermansyah Djohan pakar otonomi daerah mengungkapkan pelantikan penjabat kepala daerah bisa dilakukan Mendagri kalau terjadi penolakan.
“Itu penyelesaiannya di dalam aturan-aturan Kemendagri, UU, itu pelantikannya dapat dilakukan oleh Mendagri. Artinya, supaya jangan ada kekosongan kekuasaan,” paparnya
Supaya peristiwa serupa tidak terjadi lagi, Djohermansyah menyarankan pemerintah membentuk panitia seleksi (pansel) tingkat provinsi atau pusat dengan melibatkan pihak independen, ahli, bahkan Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN).
“Supaya jangan terjadi lagi. Aturan main, regulasi dalam pengangkatan, penunjukan penjabat sebaiknya dilakukan secara terbuka, transparan, dan menggunakan prinsip demokrasi dalam konteks birokrasi,” tambahnya.
Pansel itu bertugas merumuskan tiga nama yang dijaring lewat mekanisme lelang. Nama calon diumumkan pada publik dan juga dikonsultasikan pada Pimpinan DPRD Provinsi untuk penjabat gubernur dan DPRD Kabupaten/Kota untuk bupati/wali kota.
Kemudian, juga perlu waktu jeda untuk publik bisa memberikan masukan terkait nama-nama calon. Sesudah itu, baru diserahkan pada pejabat yang berwenang untuk dipilih. Menurutnya, hal itu sesuai dengan mandat Mahkamah Konstitusi.
“Sesuai dengan pertimbangan MK yang baik itu. Pertimbangan MK itu baik. Jangan dilecehkan,” pungkasnya.(rid)