Nilai tukar (kurs) rupiah yang ditransaksikan antarbank di Jakarta pada Senin (23/5/2022) pagi melemah tipis 2 poin atau 0,01 persen ke posisi Rp14.644 per dolar AS dibandingkan posisi pada penutupan perdagangan sebelumnya Rp14.642 per dolar AS.
Lalu Indeks Harga Saham gabungan (IHSG) Bursa Efek Indonesia (BEI) pada Senin dibuka menguat 12,8 poin atau 0,18 persen ke posisi 6.930,94.
Sementara itu kelompok 45 saham unggulan atau indeks LQ45 naik 2,97 poin atau 0,29 persen ke posisi 1.018,15.
Dolar mengawali pekan ini dengan lesu pada Senin pagi, menyusul kerugian mingguan pertama dalam hampir dua bulan, karena investor memangkas spekulasi kenaikan dolar lebih lanjut dari kenaikan suku bunga AS dan berubah berharap bahwa pelonggaran lockdown di China dapat membantu pertumbuhan global.
Pasar saham berjangka AS melambung tajam di awal perdagangan Asia dan menarik dolar Australia dan Selandia Baru yang sensitif terhadap risiko.
Aussie terakhir naik 0,4 persen pada 0,7080 dolar AS dan telah terangkat 3,8 persen dalam satu setengah minggu. Kiwi naik 0,6 persen menjadi 0,6450 dolara AS, tertinggi dalam tiga minggu.
“Ini awal yang cukup positif untuk minggu ini,” kata Ray Attrill kepala strategi valuta asing National Australia Bank, seperti dikutip dari Antara.
“Kami memang memiliki pembalikan tajam dari kelemahan pasar ekuitas AS dalam satu jam terakhir atau lebih pada Jumat (20/5/2022), jadi mungkin ada beberapa momentum di sana,” tambahnya.
“Dolar AS tampak, untuk saat ini, kehilangan momentum kenaikan,” imbuhnya.
Euro dan yen naik, dengan yen menguat 0,1 persen menjadi 127,83 per dolar dan euro naik 0,2 persen pada 1,0586 dolar menyusul kenaikan 1,5 persen minggu lalu terhadap dolar.
Indeks dolar AS turun 0,1 persen menjadi 102,790, sekitar dua persen di bawah level tertinggi dua dekade di 105,010 yang dibuat pada awal Mei.
“Dolar mungkin mencapai puncaknya, mengingat ketahanan Eropa terhadap guncangan energi dan potensi pelonggaran penguncian di China,” kata Joe Capurso ahli strategi Commonwealth Bank of Australia.
“Mengingat jenis dukungan kebijakan, kami berharap investasi pulih lebih cepat daripada belanja konsumen,” katanya.
“Investasi sedang menambang komoditas intensif (dan karena itu) sangat positif untuk mata uang komoditas seperti dolar Australia dan dolar Kanada, selain yuan.”(ant/dfn/rst)