Dradjad Hari Wibowo ekonom senior INDEF (Institute for Development Economics and Finance) menegaskan, penghentian ekpor CPO akan merugikan pemerintah sendiri. Karena porsi penghasilan yang diperoleh pemerintah dari sawit itu sangat besar.
“Saya beri contoh tahun 2020 untuk Bea Keluar (BK) dan Pungutan Ekspor (PE), jadi ada dua yang dipungut pemerintah. Jatuhnya hampir 25 persen dari seluruh CPO milik RI,” kata Dradjad dalam diskusi secara daring dengan tema ” Setelah Pemerintah Melarang Ekspor Sawit dan Minyak Goreng, Apa Selanjutnya?” Selasa petang (27/4/2022).
Apalagi ditambah pengenaan tarif pajak, maka penghasilan pemerintah dari sawit di atas 40 persen. Pungutan pajak ini karena perusahaan-perusahaan CPO memiliki kewajiban membayar pajak.
“Bahkan di 2021 dan 2022 kemungkinan dengan harga CPO sekitar Rp 1.400 sampai Rp 1.500 per kilogram, pemerintah menarik penghasilan 33 persen lebih dari BK dan PE,” tutur Dradjad.
Dradjad menjelaskan angka riil yang dilaporkan Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) per Desember 2021 sudah mencapai Rp 70 triliun melalui PE.
Sementara total pajak yang dikumpulkan dari perusahaan CPO sekitar Rp 20 triliun per bulan.
“Kalau per tahunnya mungkin Rp240 triliun, tapi saya tidak pasti tahu karena nggak pernah diungkap ke publik data ini,” kata Dradjad yang juga Ketua Dewan Pakar PAN ini.
Dradjad mengungkapkan hasil estimasi yang telah dilakukan pemerintah kemungkinan memperoleh Rp250 triliun sampai Rp300 triliun per tahun (dengan asumsi harga CPO sekarang sebesar 6.000 Ringgit Malaysia).
Menurut dia, dengan patokan harga CPO sekarang, potensi penerimaan pemerintah besar sekali. Karena itu agak susah membayangkan, pemerintah melarang ekspor CPO. Karena sama saja pemrintah akan menembak kakinya sendiri.
Apalagi di tangan Kementerian Keuangan harus banyak melakukan utang dan sebagainya. Sehingga kalau CPO sampai tidak bisa memberikan tambahan pemasukan bagi APBN maupun bagi BPDPKS, maka akan kelabakan.
Dan efeknya itu, kata Dradjad, akan terkena pada program bio disel pemerintah. Karena dana BPDPKS itu masuknya sebagian besar ke subsidi bio disel, dan pelaku bio disel. Kemudian yang kembali ke petani itu kecil sekali. Pernah hanya Rp7 triliun dan Rp10 triliun. Tapi yang kembali ke petani itu kecil sekali.
“Artinya apa? Artinya dari ekonomi sakit itu pemerintah sebenarnya banyak sekali memperoleh penerimaan financial. Sehingga, ketika ada berita bahwa pemerintah melarang ekspor CPO, saya bertanya-tanya, ini bener apa tidak? Apa jangan-jangan keliru, atau jangan-jangan yang dimaksud bukan CPO. Dan ternyata kemudian di koreksi, yang dimaksud adalah arbiti oli. Tapi tetap saja potensinya besar dari situ,” kata dia.
Dradjad mengajak semua pihak harus melihat masalah ini lebih menyeluruh. Tidak bisa hanya kebijakan hit and run.
“Yang saya lihat adalah pemerintah dengan kebijakan DMO (Domestic Market Obligation), HET (Harga Eceran Tertinggi). Semuanya itu hit and run. Nah kita harus selesaiakn dengan menyeluruh, terlepas siapapun yang ada di pemerintahan, siapapun yang menjadi Presiden. Karena masalah ini akan terus berulang,” tegasnya.
“Kenapa saya katakan demikian. Kembali kedua poin utama saya tadi. Yaitu ada permasalah struktural dan ada permasalahan antisipasi kebijakan.
Dari sisi permasalahan struktural, kita ini masih agak ngambang di dalam kebijakan ekonomi kita. Di satu sisi kita mengatakan, kita ekonomi pasar, di sisi lain kita mengatakan ada ekonomi Pancasila, atau keperpihakan, atau sebagainya. Masih agak ngambang. Dan ngambangnya pada akhirnya diselesaikan dengan kertas, dengan secarik SK,” pungkas Dradjad.(faz/rst)