Unggul Heriqbaldi, pengamat ekonomi dari Universitas Airlangga memperkirakan larangan ekspor RBD Palm Olein dan minyak goreng berdampak pada industri, petani, dan ekspor. Meskipun kebijakan itu sifatnya regulatory sandbox atau dilakukan secara tebatas pada waktu tertentu sampai ada sinyal penurunan harga.
“Berdasarkan informasi terakhir, pemerintah memutuskan melakukan pelarangan ekspor tidak pada CPO tapi turunan CPO dan minyak goreng. Kebijakan ini menarik dilihat karena kebijakan sebelumnya tidak berhasil. Tapi saya khawatir dengan kebijakan ini karena dampaknya cukup besar. Tidak hanya untuk industri, tapi juga petani dan sisi ekspor yang cukup besar,” ujarnya kepada Radio Suara Surabaya, Rabu (27/4/2022).
Salah satu faktor yang membuat Unggul pesimis dengan keberhasilan kebijakan ini adalah harga minyak nabati dunia yang naik terus. “Kebijakan ini dapat menjadi ruang untuk industri mengekspor CPO (minyak sawit mentah). Kalau harga minyak nabati dunia masih tinggi, perusahaan tidak memproduksi RBD Palm Olein tapi CPO-nya yang diekspor. Jadi ada kemungkinan kebocoran,” kata Unggul.
Unggul menjelaskan, dirinya bisa memahami perspektif pemerintah dengan langkah ini karena langkah subsidi DPO (Domestic Price Obligation) dan DMO (Domestic Market Obligation) tidak berhasil.
“Problemnya ada di perilaku produsen, sehingga agak sulit juga kalau kebijakan apa pun diterapkan, tapi pengawasan di lapangan tidak begitu ketat. Pemerintah Indonesia juga terlalu lama menyusun mekanisme harga bahan pokok. Biasanya terlalu fokus ke beras dan gula. Kita tidak pernah membayangkan minyak goreng akan terjadi seperti ini karena kita produsen terbesar,” kata Unggul.
Menurut dia, tidak masalah jika mekanisme harga minyak goreng mengikuti pasar, tapi pemerintah perlu membuat sistem stabilitas harga di waktu yang akan datang. Misalnya dengan mengetatkan DMO dan DPO. Kemudian sistem subsidinya diubah. “Jangan lewat produsen. Bulog beli dari produsen, subsidinya dari Bulog,” kata Unggul.
Unggul juga menyarankan agar pemerintah melakukan review harian terkait dampak larangan ekspor pada harga cpo internasional.
Untuk diketahui, DMO (Domestic Market Obligation) merupakan batas wajib pasok yang mengharuskan produsen minyak sawit untuk memenuhi stok dalam negeri sesuai ketentuan. Dengan kenaikan DMO dari 20 persen menjadi 30 persen, artinya produsen CPO wajib memasok 30 persen produksinya untuk kebutuhan dalam negeri. Sementara DPO (Domestic Price Obligation) merupakan harga penjualan minyak sawit dalam negeri.
Pada Kamis, 17 Maret 2022, pemerintah mencabut ketentuan DMO dan DPO bagi minyak sawit. Sebagai gantinya, pemerintah menaikkan tarif pungutan ekspor CPO dan produk turunannya.(iss)