Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI telah mengesahkan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS), resmi menjadi Undang-Undang (UU) pada Selasa (12/4/2022).
Melalui pengesahan tersebut, Dwi Rahayu Kristanti Pakar hukum Universitas Airlangga optimis momentum itu dapat menjadi langkah baik untuk mencapai keadilan bagi para penyintas.
“Dengan implementasi yang tepat, dan dukungan dari berbagai pihak, saya optimis tujuan awal dari perjuangan ini dapat terealisasikan,” terang Dwi Rahayu dalam keterangan tertulis yang diterima Suara Surabaya (20/4/2022).
Dosen Fakultas Hukum (FH) Unair tersebut juga menyoroti secara positif perspektif dalam undang-undang ini.
“Berbeda dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), UU TPKS menggunakan orientasi kepada korban, sehingga dianggap dapat memberi keadilan bagi korban,” paparnya.
Perspektif itu terlihat jelas pada tiga hak yang dimiliki oleh korban, yakni penanganan, perlindungan, hingga pemulihan. Jika sebelumnya negara hanya bertanggung jawab sampai vonis dijatuhkan, kini negara bertanggung jawab juga dalam pemulihan korban.
“Hal ini saya anggap sebagai hal yang positif, karena seperti yang kita tahu, bahwa pemulihan menjadi hal yang penting, dan bisa jadi membutuhkan waktu yang tidak sebentar,” lanjutnya.
Mengenai ruang geraknya, Yeyen sapaan akrab Dwi Rahayu Kristanti berpendapat, bahwa UU TPKS menjadi angin segar bagi korban yang selama ini tidak terakomodir dari perundang-undangan yang telah ada.
“Ada persyaratan dalam undang-undang kekerasan seksual selama ini, contohnya harus tinggal satu rumah dalam Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT), dan korban harus berusia dibawah 18 tahun dalam Undang-Undang Perlindungan Anak. Sedangkan kasus yang tidak menyentuh syarat-syarat tersebut akhirnya kini mampu diakomodir,” katanya.
Meski disambut positif, Yeyen menekankan bahwa dengan adanya hukum tersebut, berkemungkinan meningkatkan laporan kasus kekerasan seksual. Kasus kekerasan seksual masuk dalam fenomena gunung es, yaitu lebih banyak kasus yang berada di bawah permukaan dibanding yang dilaporkan.
“Karena adanya dukungan akses dan jaminan bagi pelapor, maka masyarakat akan dikonstruksi agar lebih berani dan yakin dalam melaporkan kasus dalam lingkup kekerasan seksual,” sebutnya.
Yeyen menjelaskan bahwa UU TPKS tidak menjadi akhir bagi perjuangan penegakan hukum, melainkan sebagai langkah yang harus dilanjutkan dan diawasi. “Perlu kerja sama dan kerja keras, bagi kita sesama masyarakat untuk memberikan awareness sebanyak-banyaknya termasuk kepada aparat penegak hukum,” jelasnya. (bil/rst)