Febrio Kacaribu Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan menjelaskan, Tata kelola penerimaan negara sektor pertambangan batu bara perlu dioptimalkan untuk meningkatkan kepatuhan pelaksanaan kewajiban penerimaan negara.
Saat ini, kata dia, terdapat dua rezim penerimaan negara pada sektor pertambangan batu bara yang berlaku yaitu rezim izin yang mengacu kepada ketentuan perundang- undangan yang berlaku, dan rezim kontrak dalam bentuk Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) yang mengacu kepada ketentuan dalam kontrak hingga berakhir.
Menurut Febrio, dalam Pasal 169A UU nomor 3 Tahun 2020 Tentang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu bara (UU Minerba), rezim kontrak yang berakhir dapat diperpanjang menjadi rezim izin, yaitu Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) sebagai kelanjutan operasi kontrak/perjanjian, dengan mempertimbangkan upaya peningkatan penerimaan negara.
Dalam memenuhi upaya tersebut, lanjut Febrio, Pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2022 tentang Perlakuan Perpajakan dan/atau Penerimaan Negara Bukan Pajak di Bidang Usaha Pertambangan Batu bara yang ditetapkan pada 11 April 2022.
“PP ini menjadi tonggak penting sebagai landasan hukum konvergensi kontrak yang nantinya berakhir menjadi rezim perizinan dalam upaya peningkatan penerimaan negara,” kata Febrio dalam keterangannya, Senin (18/4/2022).
Pada bagian pertama, PP ini memberikan kejelasan mengenai bagaimana kewajiban pajak penghasilan bagi para pelaku pengusahaan pertambangan batu bara dilaksanakan. Berbagai pelaku tersebut adalah pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP), pemegang IUPK, pemegang IUPK sebagai kelanjutan operasi kontrak/perjanjian, dan pemegang PKP2B.
“Adanya kepastian hukum mengenai PPh yang lebih baik melalui PP ini diharapkan semakin memudahkan pelaku usaha di sektor ini dalam menunaikan kewajiban pajak”, lanjut Febrio.
Pada bagian kedua, Pemerintah melakukan pengaturan kembali penerimaan pajak dan PNBP bagi IUPK sebagai kelanjutan operasi kontrak/perjanjian dengan mempertimbangkan upaya peningkatan penerimaan negara.
Hal ini dilakukan dengan cara mengatur besaran tarif PNBP produksi batu bara secara progresif mengikuti kisaran besaran Harga Batu bara Acuan (HBA).
Dengan demikian, pada saat HBA rendah, tarif PNBP produksi batubara yang diterapkan tidak terlalu membebani pemegang IUPK sebagai kelanjutan operasi kontrak/perjanjian. Sebaliknya, pada saat harga komoditas naik seperti saat ini, negara mendapatkan penerimaan negara dari PNBP produksi batu bara yang semakin tinggi.
Selanjutnya, untuk mendorong pemanfaatan produksi batu bara bagi industri di dalam negeri, Peraturan Pemerintah ini mengatur di antaranya tarif tunggal yang lebih rendah sebesar 14% bagi produksi batubara untuk penjualan dalam negeri.
“Implementasi peraturan ini diharapkan tetap mampu menjaga keseimbangan antara upaya peningkatan penerimaan negara dengan upaya tetap menjaga keberlanjutan pelaku usaha, sehingga akan menjadi fondasi terwujudnya keberlanjutan pendapatan untuk mendukung konsolidasi fiskal ke depan” jelas Febrio.
Selain memberi kepastian dan kesesuaian dengan rezim, PP ini diharapkan mampu menangkap momentum pertumbuhan positif sektor pertambangan batubara saat ini. Hal ini terutama karena sektor ini mampu tumbuh positif sebesar 6,6% (yoy) di tahun 2021, lebih tinggi dari pertumbuhan PDB nasional. PP ini menjadi relevan dalam memanfaatkan momentum peningkatan kontribusi sektor pertambangan batu bara terhadap perekonomian melalui APBN.(faz/ipg)