Sabtu, 23 November 2024

Ketahui Fakta Limbah Fesyen di Balik Tren Produksi Massal dan Cepat

Laporan oleh Dhafintya Noorca
Bagikan
Ilustrasi fashion. Foto: theplanetapp.com

Dewi Rizki Program Director for Sustainable Governance Strategic Kemitraan, dan Dinda Ayudita Runner Up Pertama Putri Indonesia Bengkulu 2022 membagikan sejumlah fakta mengenai limbah fesyen di balik produksi dan konsumsi industri fast fashion.

Merujuk UN Conference of Trade and Development (UNCTD) 2019, fesyen disebut sebagai industri paling berpolusi kedua di dunia, setelah industri perminyakan.

Bahkan, sepuluh persen dari emisi karbon yang mempengaruhi krisis iklim dihasilkan dari limbah produksi industri fast fashion.

Berikut lima fakta yang perlu digarisbawahi dan diketahui mengenai limbah fesyen, terutama bagi pengguna yang ingin menerapkan “diet” baju dan produk fesyen lain.

Fast Fashion Punya Andil Besar

“Karena harganya yang murah dan modelnya sedang tren, banyak anak muda yang tertarik untuk membeli pakaian dari merek-merek fast fashion tersebut,” ujar Dewi Rizki mengutip Antara, Minggu (10/4/2022).

Dia menambahkan, dulu rata-rata suatu merek merilis dua koleksi, yaitu koleksi musim panas dan musim dingin.

“Namun, sekarang frekuensinya bisa jauh lebih tinggi. Ada merek global yang merilis hingga belasan koleksi per tahun. Bahkan, mengeluarkan hingga lebih dari 40 koleksi,” imbuhnya.

Kemudian Dinda Ayudita menyampaikan, karena ancaman di balik fast fashion, dia selalu memilih model dan warna pakaian yang everlasting.

“Misalnya blazer warna hitam yang bisa dipadankan dengan dalaman dan aksesori warna apa pun,” katanya.

Berbagai Rupa Limbah Fesyen

Dinda Ayudita bercerita, dia pernah melihat sampah yang menggunung terdiri dari berbagai pakaian.

“Sampah tersebut termasuk limbah fesyen yang berasal dari sisa kain dari produksi pakaian di pabrik berskala kecil bahkan hingga besar, ada juga pakaian tak terpakai yang dibuang,” ucapnya.

Sekadar diketahui, sejumlah bahan pakaian tidak mudah terurai secara alami, seperti polyester dan nilon yang membutuhkan waktu terurai antara 20 hingga 200 tahun. Selain itu, limbah fesyen juga termasuk limbah cairan.

Kemudian Dewi Rizki turut menambahkan bahwa industri fesyen turut menyumbang dua puluh persen limbah cairan di dunia.

“Pewarnaan tekstil itu menjadi polutan air terbesar kedua di dunia karena sisa-sisa air dari proses pewarnaan sering dibuang ke selokan dan sungai,” ujar Dewi.

Berdampak Pada Krisis Iklim

Dewi Rizki mengatakan emisi karbon yang sangat besar dari industri fesyen terjadi pada setiap tahap rantai pasokan fesyen dan siklus produk.

“Namun, 70 persen emisi karbon justru berasal dari kegiatan hulu misalnya seperti produksi dan pemrosesan bahan mentah,” tutur Dewi.

Tak hanya itu, krisis iklim juga terkait dengan air, bahan kimia, penggundulan hutan, limbah tekstil, serta mikroplastik yang tidak bisa terurai secara alami.

Perilaku Konsumen Ikut Berperan

Dinda Ayudita mengakui dahulu dirinya bisa belanja baju baru setiap hari, walau pada akhirnya hanya terpakai satu-dua kali saja dan tersimpan rapi di lemari tanpa pernah tersentuh lagi.

“Ketika itu saya mulai berpikir ulang tentang kebiasaan membeli baju. Sudah saatnya saya berubah total. Sekarang saya jarang sekali beli baju,” kata Dinda.

Dinda sendiri mengajukan diri untuk jadi duta kampanye Generasi Nol Emisi di media sosial yang digagas The Partnership for Governance Reform atau yang biasa disebut Kemitraan.

Dinda turut berbagi tip agar tak perlu terus-menerus belanja produk fesyen, yaitu dengan memilih produk dasar dalam warna monokrom, seperti hitam dan cokelat, sehingga bisa dikenakan di berbagai acara.

Basic item milik saya adalah jeans, kaus ketat atau tank top, dan sepatu putih. Kalau mati gaya, sepatu putih tidak pernah gagal jadi penolong,” kata Dinda.

Limbah Fesyen Bisa Ditekan

Selain mengurangi belanja produk fesyen, aksi sederhana untuk meminimalkan limbah fesyen yaitu dengan mendonasikan pakaian lama yang masih layak pakai kepada mereka yang membutuhkan.

Dewi Rizki menambahkan apabila sangat perlu belanja baju, dia menyarankan agar memastikan semua diproses secara bertanggung jawab dan berkelanjutan.

Misalnya memakai bahan daur ulang dan dibuat dari bahan yang tahan lama.

“Mengurangi sampah fesyen adalah aksi sederhana yang bisa kita lakukan untuk memperlambat perubahan iklim. Jadi, mari menunjukkan rasa cinta pada bumi dengan mengurangi belanja produk fesyen, merawat pakaian dengan baik, dan memodifikasi pakaian lama,” pungkas Dewi.(ant/wld/rid)

Berita Terkait

Surabaya
Sabtu, 23 November 2024
31o
Kurs