Tidak semua influencer memiliki banyak pengikut di sosial medianya. Mungkin saja pengikutnya cuma anggota keluarga, teman sekolah, teman main, atau teman dekatnya dengan skala pengikut yang lebih kecil.
Meski demikian, para influencer dengan followers sedikit itu kadang bisa lebih dipercaya karena sifatnya yang lebih ‘membumi’, lebih masuk akal untuk diikuti saran-saran atau gayanya oleh orang kebanyakan.
Para pemilik brand dan pemasar pun dinilai perlu mempertimbangkan bekerja sama dengan influencers tipe seperti itu atau biasa disebut sebagai nano influencers untuk memperkuat jangkauan konsumen secara lokal dan ceruk yang spesifik.
“Definisi nano influencers sebenarnya bukan cuma bicara tentang ukuran audiens followers saja, melainkan tentang seberapa besar pengaruh di spesifik area,” kata Yosua Omimaru, CEO dari LEMON Influencers Platform dalam keterangannya, Sabtu (9/4/2022).
Yosua sendiri menilai nano influencers bisa dimulai dari dari 20 ribu hingga 30 ribu followers, untuk kemudian bisa terus melonjak berkembang.
“Saat ini, untuk ukuran 10.000 followers terdengar sangat kecil. Namun, kita percaya, dengan terus melonjaknya perkembangan influencer, kategori nano bisa saja mulai dari 20.000 atau 30.000 followers,” tambah Yosua.
Mungkin sedikit kontradiktif dengan yang sering terdengar di mana influencer punya jumlah followers tinggi. Walaupun jangkauan yang dihasilkan kecil, nano influencers memiliki tingkat keterlibatan tinggi yang ditunjukkan dalam besarnya engagement rate.
“Dari segi teknis, nano influencers merupakan mereka yang memiliki jumlah followers kurang dari 10.000,” kata Ayumu Niwa, COO LEMON Influencer Japan mengutip Antara.
Kategori influencer paling pemula ini juga dikatakan sangat berpengaruh terhadap bagaimana audiens melihat sebuah produk. Mega-macro memang bisa menjangkau dengan luas dan membuat produk menjadi sangat kredibel.
“Kita sebagai audiens tahu adanya produk baru dari post influencer mega dulu, tapi karena mereka sangat popular, ordinary people terkadang merasa tidak bisa meniru gaya mereka. Sedangkan nano lebih dekat dengan ordinary people, sehingga audiens lebih merasa relate dan mudah meniru,” ujar Ayumu Niwa.
Itu yang menjadikan alasan kenapa brand dan pemasar yang menginginkan hasil maksimal perlu bekerja sama dengan nano influencers dalam sebuah kampanye.
Jangkauan yang rendah tidak menjadikan hal tersebut sebagai kekurangan dari seorang nano. Namun, lihat kedekatan yang dibangun oleh nano influencers sebagai bumbu yang membuat mereka efektif.
“Di era yang penuh dengan periklanan, konsumen dibombardir oleh banyaknya berbagai kegiatan pemasaran. Mulai dari iklan hingga konten, mereka dibuat tidak lagi peka terhadap call to action yang diberikan. Belum lagi, audiens punya jarak dengan mega selebriti. Di situlah nano influencers masuk mengisi kekosongan. Mereka mudah untuk dihubungkan. Mereka tidak lahir rupawan dan kaya. Ceritanya bisa dipercaya. Suggestion yang diberikan pun tidak keluar dari seorang influencer, melainkan seorang teman,” tambah Yosua.
Namun, bekerja dengan nano lebih sulit dibandingkan dengan selebriti. Hanya dengan menghubungi managernya, rate card dan brief dapat langsung diatur dan dikelola.
“Brand dapat bekerja langsung dan direct oleh mega. Tapi, nano, brand membutuhkan ribuan hingga ratusan untuk impact lebih. Bayangkan jika mengelola sekian banyak nano secara manual? Kontak satu per satu, kirim brief, cek draft dan kirim barang. Berapa banyak waktu yang dibuang?” imbuhnya.
Hal tersebut yang akhirnya mendorong LEMON menyediakan platform untuk mengerahkan ratusan hingga ribuan nano influencers. Platform itu diciptakan untuk mempermudah brand dan marketer mengelola campaign tanpa perlu melakukan reach out manual melalui Direct Message di sosial media. Sebelumnya, LEMON pun belajar dari pengalamannya saat mencari secara manual nano influencers dan hal tersebut sangat memakan waktu.
Yosua dan Ayumu Niwa juga memiliki pandangan khusus tentang ramalan pertumbuhan influencer marketing mendatang.
“Ke depannya, brand akan memikirikan dan peduli dengan performance. Mereka ingin mengetahui apakah uang dan usaha yang diinvestasikan menghasilkan atau tidak. Influencer marketing sudah bukan tentang berapa banyak followers dan scope of work, namun campaign berbasis performance,” kata Yosua.
Ada juga Influencer Relationship Management (IRM) yang akan membantu memanfaatkan potensi sebenarnya dari kampanye yang dijalankan.
Ini tidak hanya akan meningkatkan kesadaran merek dan kepercayaan konsumen, tetapi juga laba atas investasi (ROI).
“IRM mengacu pada pengelolaan interaksi antara brand dan influencer. Strategi ini terinspirasi dari customer relationship management (CRM) yaitu tentang mengelola interaksi dengan pelanggan. Melalui IRM, brand dapat membangun relasi dengan influencer untuk menjembatani pesan dan kepercayaan yang diberikan ke konsumen. LEMON siap membantu dalam hal tersebut,” tandas Ayumu Niwa.(ant/dfn/rid)