Sabtu, 23 November 2024

RUU TPKS Harus Dibahas Mendalam dan Komprehensif

Laporan oleh Farid Kusuma
Bagikan
Ilustrasi stop kekerasan seksual. Foto: Pixabay

Vivi Widyawati Mahardhika Aktivis Perempuan dari Jaringan Pembela Hak Perempuan Korban (JPHPK) menilai, dari awal pembahasan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) di DPR sangat dinamis dan banyak mengalami capaian.

Walau masih ada beberapa yang diperjuangkan lagi, tapi sudah terdapat delapan bentuk kekerasan seksual yang diakomodir dalam pasal-pasal, dari sebelumnya lima bentuk kekerasan seksual.

“Yang dulu lima pasal, sekarang sudah ada tambahan dua pasal baru, yaitu pasal perbudakan seksual dan pemaksaan perkawinan, ini sebuah capaian yang progresif,” ujarnya lewat keterangan tertulis, Senin (4/4/2022).

Vivi berharap, sesudah rapat Panja yang digelar Sabtu (2/4/2022), tim perumus bisa memperdalam pembahasan dan tidak terburu-buru.

“Info yang beredar, DPR menargetkan pengesahan RUU TPKS oleh Presiden pada 21 April 2022,” imbuhnya.

Titi Anggraini Wakil Koordinator Maju Perempuan Indonesia (MPI) turut mengapresiasi komitmen dan kerja keras DPR untuk menuntaskan RUU TPKS.

Dia melihat perkembangan positif berupa diakomodirnya substansi yang cukup progresif dan menunjukkan keberpihakan pada korban.

“Diperluasnya ruang lingkup kekerasan seksual dari semula lima bentuk menjadi lebih lengkap cakupannya, dimasukannya korporasi sebagai pelaku, serta pengakuan terhadap pendamping korban secara eksplisir merupakan perkembangan positif dari dinamika pembahasan RUU TPKS,” katanya.

Sebelumnya, Panitia kerja (Panja) RUU TPKS menyepakati delapan jenis kekerasan seksual.

Hal tersebut termaktub dalam Pasal 4 Ayat 1 RUU TPKS. Pasal 4 Ayat 1 berbunyi “Tindak pidana kekerasan seksual terdiri atas pelecehan seksual nonfisik; pelecehan seksual fisik; pemaksaan kontrasepsi; pemaksaan sterilisasi; dan pemaksaan perkawinan; penyiksaan seksual; perbudakan seksual; dan pelecehan seksual berbasis elektronik”.

Titi berharap jelang pengesahan, DPR bisa lebih komprehensif mendengar masukan dari kelompok masyarakat sipil terutama terkait dengan restitusi yang mestinya betul-betul bisa memberikan manfaat dan keadilan bagi para korban.

“Selain itu, janji untuk mensinkronisasi dengan pengaturan dalam RUU KUHP, khususnya menyangkut tindak pidana perkosaan, harus benar-benar dikawal agar tidak justru melemahkan substansi dan semangat yang dibawa oleh RUU TPKS ini,” sambung Titi.

Sebelumnya, Puan Maharani Ketua DPR RI dalam acara audiensi dengan para aktivis yang mengawal RUU TPKS (12/1/2022) menyebut, dirinya menyadari banyak pihak mempertanyakan mengapa RUU TPKS tak kunjung disahkan.

Puan menekankan tidak ada upaya-upaya penjegalan, tetapi RUU TPKS perlu melewati beragam mekanisme dan pertimbangkan untuk dapat diselesaikan.

Puan menambahkan RUU TPKS dibahas dengan landasan mekanisme yang ada.

“Saya kan yang juga ada di depan meminta supaya RUU TPKS ini bisa segera dibahas. Tapi ya saya juga tidak mau menerjang atau kemudian melompati mekanisme yang ada,” ucapnya.

Legislator PDI Perjuangan itu juga menekankan produk hukum yang dihasilkan nanti harus maksimal mencegah dan memberikan perlindungan korban-korban kekerasan khususnya perempuan dan anak.

“Yang paling penting, ini bukan masalah harus cepat atau harus buru-buru tapi yang paling penting adalah yang bermanfaat untuk mencegah dan melindungi korban-korban kekerasan khususnya perempuan dan anak,” tegas Puan Maharani.(rid/iss)

Berita Terkait

Surabaya
Sabtu, 23 November 2024
26o
Kurs