LaNyalla Mahmud Mattalitti Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI menegaskan, lembaga yang dipimpinnya menolak wacana penundaan pemilihan umum (pemilu) mendatang.
Senator dari Provinsi Jawa Timur itu menegaskan, pemilu setiap lima tahun merupakan amanat kebangsaan yang harus ditepati.
Pernyataan tegas tersebut disampaikan LaNyalla, waktu menerima audiensi Poros Nasional Kedaulatan Negara (PNKN), Senin (28/3/2022), di Gedung Nusantara V, Komplek Parlemen Senayan, Jakarta.
Dewan Pengurus PNKN yang hadir antara lain, Abdullah Hehamahua, Marwan Batubara dan Jenderal TNI (Purnawirawan) Sunarko, Taufik Bahauddin Guru Besar Universitas Indonesia yang juga pegiat UI Watch, Eggy Sudjana Dewan Pengurus Pusat Persaudaraan Pekerja Muslim Indonesia, Habib Muchsin Alatas serta sejumlah elemen masyarakat.
“Bangsa ini sudah sepakat bahwa masa jabatan presiden hanya lima tahun, dan maksimal dua periode. Pemilu adalah mekanisme evaluasi yang diberikan kepada rakyat setiap lima tahun sekali. Ini prinsip. Sehingga meski pun Konstitusi bisa diubah, tetapi prinsip ini adalah amanat kebangsaan. Bangsa ini sudah belajar dari dua orde waktu masa jabatan presiden tidak dibatasi,” ujarnya.
LaNyalla menyebut, dia tidak memposisikan diri sebagai oposisi pemerintah. Tapi, dalam konteks tersebut, dia bilang harus adil sejak dalam pikiran dan melihat semuanya secara jernih dengan akal dan hati serta mendengarkan aspirasi rakyat.
“Soal wacana penundaan pemilu atau perpanjangan masa jabatan presiden memang harus kita tolak dengan menggunakan kerangka berpikir seorang negarawan. Karena, penolakan itu adalah prinsip kebangsaan yang dikehendaki rakyat kebanyakan,” imbuhnya.
Lebih lanjut, Ketua DPD RI menyebut akar persoalan bangsa ada di sektor hulu, bukan di sektor hilir. Sehingga, pembenahan bangsa harus fundamental.
“Sejak dilantik sebagai Ketua DPD RI, sebagai wakil daerah, hingga hari ini, saya sudah keliling ke seluruh provinsi, dan hampir separo dari Kabupaten/Kota di Indonesia. Saya menemukan permasalahan yang hampir sama, yaitu kemiskinan, ketimpangan, ketidakadilan, dan kegelisahan masyarakat di daerah yang tidak dapat ikut merasakan kekayaan sumber daya alam di daerahnya. Ini persoalan fundamental yang harus dibenahi,” paparnya.
Untuk mengentaskan kemiskinan, LaNyalla mencontohkan, negara tidak bisa hanya memberikan bantuan-bantuan sosial. Sementara, kebijakan di hulu memberi ruang sebesar-besarnya kepada oligarki untuk menguasai ekonomi dan menguras sumber daya alam.
Oleh karena itu, LaNyalla mengajak kembali kepada falsafah yang sudah dibuat dan disepakati oleh para pendiri bangsa yaitu Pancasila.
Tujuan hakiki dari lahirnya bangsa ini adalah mewujudkan Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
“Kita jangan jadi bangsa yang murtad terhadap jati dirinya. Jangan menjadi generasi durhaka kepada para pendiri bangsa dan jangan bangga menjadi bangsa yang tercerabut dari akar
budayanya sendiri. Karena bangsa yang besar, adalah bangsa yang menghargai sejarah peradaban, menghargai pemikiran luhur para pendiri bangsa. Hanya bangsa besar yang berani menyingsingkan lengan untuk berdaulat, mandiri dan berdikari tanpa campur tangan negara lain,” tegasnya.
Pada kesempatan itu, LaNyalla berterima kasih, karena DPD RI untuk kesekian kalinya dipercaya elemen civil society menampung aspirasi.
Walau pun faktanya hasil Amandemen Konstitusi tahun 1999 hingga 2002, memberikan ruang kekuasaan yang cukup besar kepada Partai Politik. Sementara peran DPD RI tidak diberi ruang sebagai peserta pemilu perseorangan.
“Tetapi, DPD R Isebagai wakil daerah, wakil dari stakeholder yang ada di seluruh daerah, tetap akan berusaha maksimal meresonansikan apa yang disampaikan seluruh elemen masyarakat. Posisi saya sebagai Ketua DPD RI, yang juga Senator memang meminta seluruh anggota DPD RI tidak tersekat dalam kelompok tertentu. Tetapi, mewakili dan menerima seluruh elemen. Sejatinya seorang Senator harus berpikir dan bertindak sebagai seorang Negarawan yang berada di dalam wilayah legislatif,” tandasnya. (rid/rst)