UNICEF organisasi PBB yang fokus pada hak anak-anak dunia menilai kondisi usaha di Indonesia secara umum cukup berbahaya bagi anak-anak.
Penilaian ini dilakukan melalui platform peta dampak bisnis terhadap anak yang dikembangkan bersama Global Child Forum, organisasi anak asal Swedia, yang diluncurkan baru-baru ini.
Ada tiga spektrum penilaian di platform atlas itu berdasarkan Prinsip Bisnis dan Hak Anak. Yakni pada lingkungan kerja, pada pemasaran dan iklan, serta pada masyarakat dan lingkungan hidup.
Penilaian platform itu menggunakan indeks angka sebagai indikator dampak dunia usaha atas anak. Dari 0-3.3 (tidak berbahaya); 3.3-6.6 (cukup berbahaya); dan 6.6-10.0 (sangat berbahaya).
Index itu dihitung berdasarkan kajian atas komitmen kebijakan, kajian dampak nyata dan potensi, pelibatan pemangku kepentingan, temuan yang terintegrasi, laporan, serta remediasi.
Secara rata-rata nilai yang didapat Indonesia untuk tiga spektrum penilaian dampak dunia usaha terhadap anak-anak berada di atas indeks 3.3, atau cukup berbahaya.
Untuk spektrum untuk lingkungan kerja Indonesia mendapat nilai 4.9, sedangkan untuk pemasaran dan periklanan 5, dan nilai 4.5 untuk masyarakat dan lingkungan hidup.
Secara umum, menurut UNICEF, kondisi dunia usaha di Indonesia cukup membahayakan bagi anak-anak. Terutama bidang pemasaran dan periklanan di Indonesia yang mendapat nilai 5 di atas rata-rata global 4.6.
UNICEF menganggap, dunia pemasaran dan periklanan di Indonesia masih banyak memberikan dampak negatif dan risiko untuk anak-anak. Karenanya perlu ada uji tuntas yang lebih ketat untuk aspek ini.
Dibandingkan dengan negara-negara lain di ASEAN indeks rata-rata Indonesia masih di bawah Singapura dan Thailand yang mendapat nilai rata-rata 3.9 untuk ketiga spektrum, tapi masih di atas Myanmar dengan indeks tertinggi 6.4.
Adapun peraih indeks terendah, atau memiliki dunia usaha paling aman untuk anak-anak yang dicatat Atlas adalah Prancis dengan nilai 1.1, sedangkan yang tertinggi adalah Somalia dengan nilai 9.1.
UNICEF merekomendasikan beberapa hal untuk Indonesia agar dunia usahanya lebih ramah terhadap hak anak-anak. Indonesia, menurut organisasi ini, perlu meningkatkan pengawasan atas pelaksanaan regulasi.
Pelaksanaan regulasi yang perlu ditingkatkan itu antara lain yang mengatur tentang pemasaran (offline atau online), misalnya pada pengawasan pemasaran dan iklan makanan yang tidak sehat, produk yang tidak boleh dipasarkan secara bebas dan diiklankan secara massal.
Pengawasan juga perlu ditingkatkan dalam pelaksanaan regulasi tentang standar minimal pelayanan dasar dan hak-hak pekerja di lingkungan kerja termasuk untuk keluarga dan anak-anak mereka. Terutama di sektor-sektor yang memiliki kerentanan tinggi dengan pekerja anak, serta isu-isu ketenagakerjaan yang terkait pemenuhan hak anak sebagai tanggungan dari pekerjanya.
UNICEF juga merekomendasikan agar Indonesia meningkatkan pengawasan regulasi lingkungan hidup, partisipasi masyarakat dan pengaturan tata ruang dan sumber daya. Terutama pada sektor yang mengelola sumber daya alam, atau memiliki lokasi operasional berdekatan dengan pemukiman masyarakat atau wilayah lingkungan sehingga rentan terdampak deforestasi, gas rumah kaca, polusi tanah-air-udara, dan karbon.
Atlas Hak Anak dan Bisnis (Children’s Rights and Business Atlas) adalah Platform uji online tentang dampak bisnis terhadap anak-anak secara aktual dan potensial.
Platform yang dikembangkan UNICEF bersama Global Child Forum itu dipresentasikan dalam Forum PBB tentang Bisnis dan Hak Asasi Manusia di Jenewa, Rabu (28/11/2018).
Platform Atlas dengan fitur interaktif dan kaya data ini ditujukan untuk membantu bisnis (perusahaan), investor, dan organisasi industri memahami jejak mereka pada anak-anak baik sebagai anggota keluarga pekerja, karyawan, konsumen, dan anggota masyarakat.
Atlas dikembangkan sejalan dengan hak-hak yang ditetapkan dalam Konvensi Hak-Hak Anak (CRC) dan proses uji tuntas hak asasi manusia dalam Prinsip Panduan PBB tentang Bisnis dan Hak Asasi Manusia (UNGPs) serta Hak-hak Anak dan Prinsip-Prinsip Bisnis (CRBP).
Secara khusus, kesepakatan itu berisi tentang bagaimana bisnis dapat mencegah dan mengatasi risiko terhadap hak-hak anak dan memaksimalkan dampak bisnis yang positif di tempat kerja, pasar, serta komunitas dan lingkungan.
“Dunia membutuhkan bisnis menempatkan kebutuhan dan hak anak-anak di garis terdepan pengambilan keputusan mereka. Karena kami tidak dapat mencapai SDG (Sustainable Development Goals/Tujuan Pembangunan Berkelanjutan), yang berpusat pada anak, tanpa bisnis,” kata Shanelle Hall Wakil Direktur Eksekutif UNICEF.
Sementara Paula Guillet de Monthoux Wakil Ketua Global Child Forum mengatakan, organisasi itu memprakarsai Atlas Hak Anak dan Bisnis untuk melengkapi pengetahuan perusahaan agar lebih memahami dan menilai dampak potensial mereka pada anak-anak.
“Atlas juga akan membantu perusahaan menyadari potensi signifikan yang mereka miliki untuk menghasilkan perubahan positif dan manfaat maksimal bagi anak-anak,” ujarnya.(den/dim/tin)