Jumat, 22 November 2024

Bakal Calon Hakim Konstitusi Menilai Perlunya Sanksi untuk Pembuat UU yang Tidak Melaksanakan Putusan MK

Laporan oleh Farid Kusuma
Bagikan
Benediktus Hestu Cipto Handoyo bakal calon Hakim Konstitusi mengikuti tes wawancara panitia seleksi yang digelar di Aula Gedung 3 Kementerian Sekretariat Negara, Jakarta, Rabu (11/12/2019). Foto: Farid suarasurabaya.net

Benediktus Hestu Cipto Handoyo bakal calon Hakim Konstitusi mengaku punya rencana memperbaiki kekurangan dalam putusan Mahkamah Konstitusi (MK).

Hal itu diungkapkan pada sesi wawancara yang digelar Panitia Seleksi Calon Hakim Konstitusi, Rabu (11/12/2019), di Aula Gedung 3 Kementerian Sekretariat Negara, Jakarta.

Salah satu ide Dosen Universitas Atma Jaya Yogyakarta tersebut mendorong pengujian peraturan perundang-undangan satu pintu.

Menurutnya, selama ini putusan MK belum menjadi rujukan Mahkamah Agung (MA).

“Masih banyak pekerjaan untuk menyempurnakan MK. Saya menyarankan, pengujian peraturan perundang-undangan itu satu pintu saja. Karena, sampai sekarang, kalau uji materi diputus di MK, belum tentu menjadi rujukan MA. Artinya, MA nggak pernah menggunakan rujukan dari MK karena paradigma kekuasaan kehakiman tidak tunduk pada lembaga lain, jadi cuma tunduk pada dirinya sendiri,” ucapnya.

Di hadapan lima orang panitia seleksi, Hestu juga menyinggung lamanya proses revisi undang-undang hasil putusan MK. Parahnya lagi, tidak ada sanksi bagi lembaga negara pembentuk undang-undang.

“Tidak ada sanksi bagi lembaga negara pembentuk UU (Presiden dan DPR) ketika salah menuangkan norma. Selain itu, pembentuk UU juga tidak segera mengubah UU. Nah, untuk memperkuat MK, dalam UU MK yang baru harus ada ketentuan bahwa begitu diputuskan, maka selang berapa minggu atau beberapa bulan harus melakukan perubahan,” imbuhnya.

Hestu menyayangkan, selama ini putusan MK cuma disampaikan dalam program legislasi nasional (Prolegnas), tapi tidak segera direvisi.

“Banyak sekali UU yang masuk daftar kumulatif terbuka termasuk putusan MK cuma disampaikan dalam Prolegnas. Tapi, tidak dilakukan perubahan secara cepat,” katanya.

Lebih lanjut, Hestu juga menilai UU tentang pembentukan perundang undangan dan UU tentang MD3 yang baru saja direvisi melanggar konstitusi. Salah satunya, DPD RI diberikan kewenangan memantau dan mengevaluasi peraturan daerah.

Sekadar informasi, pansel yang dipimpin Prof.Harjono bertugas mencari satu orang hakim konstitusi untuk menggantikan I Gede Dewa Palguna yang akan pensiun per tanggal 7 Januari 2020.

Rencananya, tiga nama yang lolos seleksi hakim konstitusi akan diserahkan kepada Joko Widodo Presiden tanggal 18 Desember 2019.

Kemudian, Presiden berhak memilih satu dari tiga nama hasil seleksi, untuk ditetapkan sebagai hakim konstitusi.(rid/dwi/rst)

Berita Terkait

Surabaya
Jumat, 22 November 2024
35o
Kurs