Isu penundaan pemilu 2024 yang dikemukakan sejumlah ketua partai politik menjadi wacana bola liar yang terus menghangat, Presiden sebagai pimpinan negara diharapkan memberikan statemen yang tegas terkait hal tersebut.
Dr. Hj. Hesti Armiwulan, S. H., M. Hum, Ketua Laboratorium Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Surabaya saat mengudara di Suara Surabaya mengatakan, agenda kepemimpinan nasional sudah diatur secara tegas dalam konstitusi.
Menanggapi isu penundaan pemilu 2024, menurut Hesti itu sudah dijelaskan dalam Undang-Undang Dasar Pasal 22 E Ayat 1 berbunyi, “Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali”.
Berdasarkan aturan itu, penyelenggara wajib melaksanakannya. Berarti jika ada keinginan untuk menunda tidak dalam masa lima tahun, maka termasuk pelanggaran konstitusi.
“Dari itu saja bisa kita lihat, ada aturannya. Ketika ada keinginan untuk menunda, maka itu inkonstitusional, pelanggaran konstitusi, yang kedua menunjukkan tidak ada etika negara,” ujarnya.
Jika mengacu pada Pasal 1 Ayat 2, berbunyi, “Kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR”. Maka, kondisi pelaksanaan pemilu yang dianggap tidak memungkinkan untuk dilaksanakan itu, harus berdasarkan kehendak rakyat. Karena, rakyat sebagai pemegang kedaulatan secara menyeluruh.
“Andai kata pemegang kedaulatan yaitu rakyat secara keseluruhan menghendaki situasi kondisi tidak memungkinkan untuk dilaksanakan pemilu tersebut dilakukan, maka dapat diberlakukan yang disebut sebagai hukum darurat negara”. Tegasnya.
Pernyataan sejumlah ketua parpol terkait penundaan pemilu yang berdalih atas kepentingan rakyat, menurut Hesti sama sekali tidak menunjukkan bentuk negara hukum. Tetapi justru seperti kehendak kekuasaan saja.
Isu penundaan pemilu ini menurutnya, tidak akan dilaksanakan karena hanya sebuah wacana yang dilempar saja.
Mengingat masa jabatan pemerintahan yang sudah ditentukan 5 tahun ini. Maka, akan terjadi kekosongan jabatan jika pemilu ditunda.
“Yang perlu diingat, menunda pemilu, bukan berarti memperpanjang masa jabatan Presiden, Wakil Presiden, DPR, DPD dan seterusnya,” kata Hesti Armiwulan.
Dia menambahkan jika sampai terlaksana, maka hanya ada dua cara yang dapat dilakukan presiden, yaitu melakukan amandemen dan mengeluarkan Peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu). Itupun sangat beresiko terjadinya pemakzulan karena kekosongan kekuasaan.
Usulan penundaan pemilu 2024 ini sampai ke publik, setelah diusulkan oleh Muhaimin Iskandar (Cak Imin) Ketum PKB, setelah itu usulan tersebut juga didukung oleh Airlangga Hartarto Ketum Golkar . selanjutnya Zulkifli Hasan Ketum PAN. Cak Imin berpendapat, pelaksaan Pemilu 2024 mengganggu upaya pemulihan ekonomi yang sedang berlangsung, sehingga perlu ditunda satu sampai dua tahun lagi.
Belakangan, Joko Widodo Presiden RI juga menanggapi isu tersebut. Presiden mengatakan akan patuh pada konstitusi atau undang-undang dasar, namun juga mengatakan wacana penundaan pemilu tidak bisa dilarang.
”Siapa pun boleh-boleh saja mengusulkan wacana penundaan Pemilu dan perpanjangan (masa jabatan presiden), menteri atau partai politik, karena ini kan demokrasi. Bebas saja berpendapat. Tetapi, kalau sudah pada pelaksanaan, semuanya harus tunduk dan taat pada konstitusi,” ungkap Jokowi.
Karena ini bagian dari demokrasi, pernyataan Presiden dianggap kurang tegas menyatakan menolak atau mendukung wacana yang penuh kontroversi ini.
“Pernyataan Presiden harusnya tegas, agar menurunkan tensi (perdebatan) wacana pemilu yang ditunda,” tambah Hesti Armiwulan.
Hesti berharap agar elit politik juga menyadari, apapun sistem yang berlaku saat ini, tidak akan berjalan dengan baik jika para penyelenggaranya tidak beretika, dan inkonstitusional. (lta/rst)