Jumat, 22 November 2024

Akademisi Unair: Penggantian Hukum Acara Perdata Ini Tidak seperti Ciptaker, Sudah Melalui Pembahasan Panjang

Laporan oleh Denza Perdana
Bagikan
ilustrasi-kitab-hukum-undang-undang-perdata Ilustrasi. Foto: Susan von Struensee Flikr

Dr. Ghansham Anand SH, MKN Akademisi Hukum Acara Perdata dari Universitas Airlangga (Unair) Surabaya menegaskan, penyusunan konsep Undang-Undang Hukum Acara Perdata untuk menggantikan hukum acara perdata peninggalan kolonial itu bukan seperti pembahasan Undang-Undang Ciptaker. Menurutnya, pembahasan tentang konsep dan naskah undang-undang perdata yang sedang dibahas di DPR RI itu sudah dilakukan di berbagai kampus di Indonesia, termasuk di Unair.

“Bisa dibilang, saya adalah saksi. Sejak saya menjadi dosen pada 2013 lalu, undang-undang ini terus menjadi pembahasan. Jadi, pembahasan secara akademik tentang draft (RUU Hukum Acara Perdata) ini sudah dilakukan di beberapa kampus: UI, UGM, Unair, dan lain-lain. Sudah keliling-keliling naskahnya ini ke berbagai kampus, dan tentu saja ini disambut dengan baik, karena yang ada saat ini tidak bisa mengakomodir kemajuan teknologi informasi,” katanya.

Ghansam menyebutkan, RUU Hukum Acara Perdata ini sudah masuk dalam program legislasi nasional prioritas sejak 2019 lalu sebagaimana diperjuangkan oleh akademisi juga asosiasi praktisi hukum. Karena itu dia mengapresiasi mulai dibahasnya RUU ini di DPR RI. Terutama supaya setelah 76 tahun merdeka pada akhirnya Indonesia akan segera memiliki undang-undang hukum acara perdata sendiri, bukan peninggalan kolonial.

“Ini bukan cerita kemarin, ya. Ini perjuangan sekian puluh tahun. Yang pertama tadi, peraturan perundang-undangan yang kita pakai sementara ini dalam praktik pengadilan itu masih peninggalan kolonial. Contohnya HIR (Herzien Inlandsch Reglement/Reglemen Indonesia yang Diperbaharui). Bayangkan, lho. Namanya saja seperti itu. Inlandsch. Tahu enggak apa itu Inlandsch. Itu artinya pribumi. Padahal kita sudah tidak lagi memakai istilah itu (pribumi).

“Karena peninggalan kolonial dan sudah tidak sesuai dengan perkembangan zaman, maka kelemahan itu dilengkapi dengan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) dan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA). Misalnya untuk mediasi, gugatan sederhana, gugatan warga negara, dan lain sebagainya. Karena berserakan, proses penegakan hukum perdata di pengadilan seringkali dibilang tidak pasti, lama, panjang, dan lain-lain. Nah bagaimana caranya kita mencapai keadilan kalau hukum acaranya sendiri peraturannya masih tersebar?” katanya.

Pemicu perlunya perubahan aturan tentang hukum acara perdata ini, kata Ghansam, berkaitan erat dengan proses penegakan hukum dan kemudahan investasi. Dia mengatakan, Indonesia masih ada di peringkat 72 atau 73 tentang kemudahan investasi. Salah satu yang bermasalah, kata dia, adalah proses penegakan hukum, kepastian hukum, dan lamanya proses berperkara.

“Lah, di Indonesia itu, coba ada kasus menagih utang misalnya Rp100 juta, seperti meme di media sosial itu, berapa panjang upaya yang dilakukan untuk menagih utang itu? Berapa biaya yang harus dikeluarkan? Berapa lama harus menunggu? Ini, kan, berbahaya dalam penegakan hukum kita. Begitu juga kalau kita bicara tentang bisnis. Pebisnis itu ingin pasti, ketika ada yang tidak bayar, ada yang tidak melaksanakan hal yang sudah disepakati, maka pihak kreditur butuh dilindungi hak-haknya. Nah di sinilah saya kira negara perlu hadir. Salah satunya, tentu, setelah penantian yang begitu panjang, dengan mengesahkan UU Hukum Acara Perdata itu,” ujarnya.

Saat ini, kata Ghansam, RUU tentang Hukum Acara Perdata itu masih dalam rencana pembahasan di DPR RI. Dalam pembahasan di salah satu komisi DPR RI, nanti, menurutnya akan ada proses penerimaan masukan dari ahli dan sebagainya. Kemudian setelah disetujui, RUU itu akan disahkan menjadi Undang-Undang dan kemudian diumumkan dalam berita negara.

“Sesuai draft yang ada di sekretariat negara, namanya Undang-Undang nomor sekian tentang Hukum Acara Perdata. Dalam draft RUU itu ada sebanyak 353 pasal. Banyak. Nanti semua dosen dan praktisi pasti bakal belajar lagi. Materi RUU ini, pertama menghimpun yang berserakan itu. Mulai dari HIR, kemudian Reglement op de Rechtsvordering (RV) misalnya. Itu hukum yang hakikatnya untuk golongan Eropa, karena kita belum punya, kita masih memakai itu, padahal kita sudah tidak ada golongan-golongan seperti itu. Begitu juga misalnya tentang bentuk surat kuasa yang diatur dalam Perma, juga di dalam SEMA, dan lain-lain sebagainya. Peraturan yang berserakan itu yang coba dimasukkan dalam RUU Hukum Acara Perdata ini,” ujarnya.(den/ipg)

Berita Terkait

Surabaya
Jumat, 22 November 2024
29o
Kurs