Sabtu, 23 November 2024

Soal JHT, DPR: Jangan Salahkan Pemerintah, Mari Duduk Bersama

Laporan oleh Agustina Suminar
Bagikan
Ilustrasi. Pabrik sepatu di Sidoarjo. Foto: Qerja

Dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2022 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat Jaminan Hari Tua menjelaskan, bahwa uang Jaminan Hari Tua (JHT) dapat dicairkan ketika pekerja memasuki usia pensiun 56 tahun.

Kebijakan ini mendapat sorotan publik dan kritik, mengingat uang JHT sebelumnya dapat dicairkan saat seseorang di-PHK maupun mengundurkan diri dalam pekerjaan. Ditambah selama pandemi, banyak orang kehilangan pekerjaan dan mengandalkan JHT untuk menyambung hidup.

Rahmad Handoyo Anggota Komisi IX DPR RI mengatakan, pemerintah dan masyarakat harus duduk bersama dan mencari jalan tengah terkait polemik ini.

“Kami menyarankan semuanya mari duduk bersama, berpikir positif. Karena ada isu di luar bahwa BPJS seolah-olah bangkrut, pemerintah tidak punya uang, itu salah. Semua pihak mari berpikir sejuk, dengan kepala dingin,” kata Rahmad kepada Radio Suara Surabaya, Senin (14/2/2022).

Ia menekankan bahwa pemerintah sudah melakukan langkah yang tepat, yakni menjalankan amanah UU. Karena jika dilihat dari dari PP Nomor 46 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Hari Tua (JHT), usia pensiun adalah saat pekerja berusia 56 tahun.

“Pemerintah tidak salah karena menjalankan amanah undang-undang, bahwa JHT dibayarkan saat usia pensiun. Dalam PP 46/2015 usia pensiun 56 tahun. Lalu turunlah Permenaker 2/2022 ini, jadi permen ini tidak salah” ujarnya.

Sebelumnya, Nurudin Hidayat Wakil Sekretaris Urusan BPJS FSPMI Jawa Timur mengatakan, Permenaker no 02 tahun 2022, telah bertentangan dengan PP Nomor 60 Tahun 2015, yang tidak menyebutkan batas usia pensiun pekerja. PP Nomor 60/2015 inilah yang akan menjadi pegangan hukum para serikat buruh untuk mengajukan judicial review di Mahkamah Konstitusi nantinya.

Terkait hal itu, Rahmad sendiri mempersilakan jika buruh merasa aturan tersebut perlu didugat.

“Ada PP 60 Tahun 2015 yang bertentangan dengan Permenaker 2/2022, kalau memang teman-teman buruh tidak menyetujui JHT di usia pensiun, tentu itu harus direview dulu di MK. Pemerintah tidak salah sama sekali karena hanya buat Permen dari PP. Tapi ya perasaan batin para pekerja ini harus tetap dihormati,” lanjutnya.

Rahmad mengingatkan, pemerintah akan segera merilis Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) kepada pekerja/buruh yang mengalami pemutusan hubungan kerja.

“Nanti akan ada JKP, ini yang harus disosialisasikan ke pekerja bahwa kalau diberhentikan akan diberikan uang cash, pelatihan. Jadi ada informasi-informasi yang terputus,” lanjutnya.

Di sisi lain, Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia Jatim amenganggap, JKP masih belum cukup mengingat banyaknya syarat yang harus dipenuhi. Dalam JKP, pekerja harus terdaftar dalam program Jaminan Kesehatan BPJS Kesehatan, Jaminan Hari Tua, Jaminan Kematian, Jaminan Pensiun dan Jaminan Kecelakaan Kerja. Sedangnya fakta di lapangan, banyak perusahaan yang masih belum mendaftarkan pegawainya ke program-program tersebut, terutama BPJS Kesehatan.

Belum lagi, pelaksanaan JKP selama ini dianggap tidak berjalan bagi pegawai outsourcing dan karyawan kontrak. Sedangkan kondisi saat ini, banyak pekerja yang berstatus pegawai kontrak ketimbang pegawai tetap.

Mengenai hal ini, Rahmad mengatakan perlu ada pengayaan kembali.

“Kan apa yang dibacakan ini belum jalan juga. Sedangkan JHT itu baru diberlakukan 3 bulan ke depan. Mari kita lakukan pengayaan, dan diskusi-diskusi. Kami siap memfasilitasi untuk membahas bersama, pasti kami akan panggil, kita akan pertemukan buruh dan kementertian tenaga kerja,” terangnya saat ditanya tentang langkah DPR merespon polemik ini.(tin/rst)

Berita Terkait

Surabaya
Sabtu, 23 November 2024
26o
Kurs