Sabtu, 23 November 2024

Ini Alasan Kenapa Pengusaha Truk Jarang Patuhi Larangan ODOL

Laporan oleh Denza Perdana
Bagikan
Ilustrasi. Truk terguling di depan SPBU Wonokupang Balongbendo, Sidoarjo, Senin 7 Desember 2020 lalu yang diduga karena kelebihan muatan. Foto: dok/suarasurabaya.net

Codey Fredy Lamahayu Ketua Organisasi Angkutan Darat (Organda) Khusus Tanjung Perak Surabaya membongkar alasan kenapa pengusaha truk atau pemilik angkutan jarang mematuhi larangan over dimension over loading (ODOL) dari pemerintah. Padahal, pemerintah menargetkan Indonesia akan Zero ODOL atau bebas kendaraan barang kelebihan dimensi dan kelebihan muatan tahun depan.

“Jadi begini, ongkos angkut saat ini sudah sangat rendah. Kira-kira sekitar Rp500-Rp550 per ton kilometer. Sehingga semua truk itu ingin mengangkut lebih banyak, bak lebih besar, agar dapat ongkos untuk membiayai perusahaannya. Itu penyebab utama sehingga mereka tidak mau mematuhi zero ODOL. Tapi kami di Organda mendukung penuh Zero ODOL 2023,” ujarnya.

Problemnya, kata dia, lebih banyak truknya daripada yang diangkut. Para pengusaha pemilik barang ingin mendapatkan angkutan yang murah. Sementara, karena jumlah truk yang terlalu banyak, para pengusaha truk akhirnya saling berebut sehingga satu sama lain saling menurunkan harga dan berupaya supaya bisa mengangkut lebih banyak barang.

“Kebijakan Zero ODOL ini, kalau keseluruhan (pengusaha truk) bisa bersama-sama menerapkannya akan menguntungkan. Tapi kalau cuma satu dua saja, akan merugikan para pengusaha yang patuh. Ukuran kepatuhan ini kan hanya bisa dengan jembatan timbang,” katanya ketika mengudara di Radio Suara Surabaya, Jumat (11/2/2022).

Tidak hanya pengusaha angkutan, Codey menegaskan, berkaitan upaya Zero ODOL ini para pemilik barang juga harus menerima konsekuensi dan mau mendukung penerapan kebijakan itu. Sebab, ketika semua pengusaha truk benar-benar patuh pada larangan ODOL, dia menegaskan, ongkos angkut akan terkerek naik.

“Kalau nanti sudah Zero ODOL, ongkos angkut itu akan naik antara 100-200 persen. Bahkan bisa 200-300 persen. Nah, pemilik barang harus mematuhi ongkos baru itu, harus mau membayar,” ujarnya.

Codey menjelaskan bagaimana penerapan Zero ODOL akan berpengaruh pada kenaikan ongkos atau tarif jasa angkut barang. Sebagaimana diketahui, batas angkut sebuah truk yang dalam aturan pemerintah terkait larangan ODOL ini adalah 12 ton. Padahal, selama ini, truk-truk itu bahkan dimodifikasi sedemikian rupa supaya bisa mengangkut lebih dari 20 ton.

“Jadi kalau Zero ODOL diterapkan, pengangkutan barang jadi terbatas. Sesuai aturan larangan ODOL, satu dump truk itu hanya bisa mengangkut maksimal 12 ton. Padahal, tadinya, satu dump truk bisa mengangkut 25-30 ton. Jadi, mau enggak mau, kalau kami (pengusaha truk) patuh pada aturan Zero ODOL, ongkos angkut itu akan naik sampai 300 persen,” ujarnya.

Codey pun mengakui, bila ongkos angkut barang sudah meningkat, hal itu juga akan berdampak pada kenaikan harga barang. Sebab, para pemilik barang yang memanfaatkan jasa angkut bukan tidak mungkin akan ikut menaikkan harga barang mereka untuk menjaga margin keuntungannya.

Bagi para pengusaha truk, Codey mengakui, larangan ODOL ini memang akan mengurangi margin keuntungannya. Karena itulah, perlu ada penyesuaian tarif angkut supaya pengusaha truk bisa lebih patuh. Sementara, fenomena kendaraan barang ODOL ini tidak hanya berdampak ekonomi, seringkali truk yang kelebihan muatan juga memunculkan korban di jalan raya.

Codey kembali menegaskan, Organda di seluruh Indonesia, dari pusat sampai di daerah mendukung penuh target pemerintah Zero ODOL pada 2023. Hanya saja, dia meminta pemerintah tegas dalam menerapkan kebijakan. Termasuk melakukan sosialisasi kepada semua pihak secara masif dan terus menerus.

“Baru-baru ini Dirjen Hubdat sudah mengeluarkan kebijakan, untuk truk yang masih ODOL dilarang melakukan uji KIR. Organda mendukung ini, asalkan ini diterapkan kepada semuanya, dan semua pihak menjalankan aturan ini bersama-sama,” ujarnya.(den)

Berita Terkait

Surabaya
Sabtu, 23 November 2024
33o
Kurs