Sabtu, 23 November 2024

LBH Pers: Kekerasan Masih Terjadi, HPN 2022 Harus Jadi Momentum Refleksi dan Evaluasi

Laporan oleh Denza Perdana
Bagikan
aksi-teatrikal-wartawan Aksi teaterikal jurnalis di Sidoarjo sebagai bentuk keprihatinan atas masih adanya kasus kekerasan terhadap jurnalis Tempo di Surabaya, 2021 lalu. Foto: dok/suarasurabaya.net

Lembaga Bantuan Hukum Pers se-Indonesia menyatakan, Hari Pers Nasional (HPN) yang diperingati setiap 9 Februari 2022 harus menjadi momentum refleksi dan evaluasi terhadap kondisi pers di Indonesia.

Setidaknya ada tujuh poin refleksi LBH Pers se-Indonesia di HPN 2022 yang bertajuk “Melindungi Pers Melindungi Demokrasi” sebagaimana termuat dalam keterangan pers tertulis yang diterima suarasurabaya.net, Selasa (8/2/2022).

Pada poin pertama refleksi itu, LBH Pers menegaskan bahwa kekerasan fisik terhadap jurnalis masih terus terjadi karena tidak adanya penyelesaian dan proses hukum terhadap pelaku kekerasan terhadap jurnalis.

Banyak faktor proses hukum terhadap pelaku kekerasan terhadap jurnalis tidak ditindak secara tegas. Pertama, Jurnalisnya enggan berbicara atau melapor kepada pihak penegak hukum salah satunya karena rendahnya kepercayaan jurnalis kepada penegak hukum untuk bisa menyelesaikan kasusnya.

Kedua, Perusahaan pers tempat dimana jurnalis bekerja tidak secara proaktif mendorong penyelesaian kasus kekerasan kepada penegak hukum. Dan Ketiga, Lambatnya proses hukum yang dilakukan oleh pihak penegak hukum.

Fenomena lain dalam kasus kekerasan terhadap jurnalis adalah berkelindannya pelanggaran kode etik di banyak kasus kekerasan terhadap wartawan. Pelanggaran kode etik menjadi salah satu faktor pemicu terjadinya kekerasan.

Meskipun, secara hukum, apapun alasannya kekerasan fisik kepada wartawan tidak diperkenankan karena tersedianya mekanisme penyelesaian sengketa dengan pers di Dewan Pers.

Poin kedua refleksi LBH Pers se-Indonesia adalah serangan siber termasuk label hoaks terhadap karya jurnalistik, serta praktik doxing yang masih menjadi ancaman serisu terhadap pers.

LBH Pers memprediksi, cap hoaks akan menjadi pola baru pelanggaran terhadap kebebasan pers. Seperti cap hoaks terhadap karya jurnalistik Multatuli Project yang diduga dilakukan oleh akun institusi penegak hukum.

Cap hoaks menjadi sebuah pelanggaran terhadap kebebasan pers yang akan sangat berdampak pada ketidakpercayaan masyarakat terhadap pers.

Hal lain termuat dalam poin ketiga refleksi itu. Yakni potensi pemidanaan terhadap wartawan yang semakin terbuka lebar dengan preseden tiga putusan hakim yang memvonis pidana tiga wartawan yakni Sadli Saleh, Diananta, dan Asrul.

Pola hakim menjatuhkan vonis pidana terhadap wartawan beberapa di antaranya dengan menggunakan dokumen keputusan etik Dewan Pers untuk melegitimasi pelanggaran hukum yang terjadi.

Padahal, Dewan Pers sudah secara tegas menyampaikan bahwa proses sengketa terhadap karya jurnalistik seharusnya diselesaikan melalui mekanisme sengketa pers di Dewan Pers.

Meskipun pendapat Dewan Pers tentang keputusan pelanggaran etik digunakan dalam pertimbangan oleh Hakim, namun di aspek lain Hakim tidak menggunakan argumentasi Dewan Pers tentang mekanisme penyelesaian sengketa pers itu.

LBH Pers juga mencatat, ada lembaga-lembaga penegak hukum yang dari tingkat penyelidikan sampai pengadilan “mengabaikan” rekomendasi atau penilaian Dewan Pers yang dipandang tidak setara dengan institusi negara atau penegak hukum lainnya.

“Selain itu, tanggal 9 Februari 2022 merupakan masa habis MoU antara Dewan Pers dengan Kapolri terkait Koordinasi dalam Perlindungan Kemerdekaan Pers dan Penegakan Hukum Terkait Penyalahgunaan Profesi Wartawan dan Inisiasi Revisi UU ITE. MoU ini sangat penting untuk mendorong dekriminalisasi terhadap pers sehingga perlu diperpanjang dan diperkuat,” demikian pernyataan LBH Pers dalam keterangan tertulisnya.

Salah satu poin penting yang layak dipertimbangkan dalam MoU itu berkaitan perlunya memasukkan pengecualian terhadap penjeratan Pasal 27 ayat 3 UU ITE kepada jurnalis, seperti tertuang di dalam SKB Jaksa Agung, Kapolri, dan Menkominfo tentang Pedoman Implementasi UU ITE.

Di luar dari Pasal 27 ayat 3 UU ITE yang juga penting untuk masuk pengecualiaan adalah Pasal 28 ayat 2 UU ITE. Sedangkan Revisi UU ITE, adalah penghapusan pasal-pasal karet seperti Pasal 27 ayat 3 dan 28 ayat 2 UU ITE.

Momentum revisi ini, menurut LBH Pers, juga penting dimanfaatkan oleh stakeholder pers, baik Dewan Pers, Organisasi Wartawan, Organisasi Perusahaan Pers dan lainnya, untuk mendorong lebih kencang legislator membuat regulasi yang melindungi kebebasan pers.

Anda bisa membaca lebih lengkap refleksi LBH Pers di HPN 2022 ini di laman resmi LBH Pers. Ada tentang angka kekerasan terhadap pers yang masih sangat tinggi, Dampak UU Cipta Kerja terhadap pekerja media massa, pasal-pasal yang mengkriminalisasi pers, juga kekerasan seksual di industri media.(den)

Berita Terkait

Surabaya
Sabtu, 23 November 2024
33o
Kurs