Seni dengan segala praktik eksistensinya bisa menjadi satu di antara tolak ukur kemajuan daerah. Jogja, Bandung, Jakarta misalnya, telah menjadi arus utama seni rupa Indonesia.
Seni berperan penting dalam membangun imajinasi yang mempengaruhi pola berpikir kritis masyarakatnya. Muaranya tidak melulu diwujudkan melalui sebidang kanvas atau patung saja, seni sudah menerobos masuk pada wilayah kesadaran manusia dalam bertindak.
Sampai hari ini, perkembangan seni di Pasuruan Raya belum bisa dikatakan mutakhir. Beberapa penyebabnya adalah ketimpangan antara banyaknya seniman dan desainer yang tidak didukung pula adanya fasilitas seperti kurator, galeri, museum, kolektor, institusi dan lainnya. Tetapi perlahan kerisauan tersebut tidak menjadi keluh-kesah seniman, karena beberapa seniman di Pasuruan membuat alternatif strategi dengan cara berkolektif dan menciptakan Artspace sebagai laboratorium seni daerah.
Kolektif Kuas Patis dan Kolektif Pawitra merupakan satu dari beberapa kolektif yang progresif dalam mewarnai dinamika perkembangan seni rupa di Pasuruan Raya. Dua kolektif ini tidak hanya berkumpul dalam event atau group chat saja, tetapi mereka masing-masing membangun ruang alternatif yang memiliki posisi penting untuk segala perputaran informasi seni di dalamnya.
Ruang alternatif juga menjadi institusi baru bagi mereka yang tidak mengenyam pendidikan seni di Akademisi. Laboratorium-laboratorium inilah yang nantinya bergerak untuk mencari dan menata kekurangan fasilitas tadi. Begitu juga K-Gallery, menjadi ruang baru yang ideal untuk menampilkan karya mutakhir perupa Pasuruan. K-Gallery berpeluang menjadi ruang kompetitif penting, seperti Lawangwangi Creative Space di Bandung. Lawangwangi menjadi ruang bertemunya karya-karya hasil kompetisi BaCAA (Bandung Contemporary Art Award), sebuah ajang kompetisi karya seni kontemporer seniman Bandung dan luar Bandung. Apalagi sebelumnya K-Gallery juga sempat membuat kompetisi karya patung dan Instalasi.
Dorongan tersebut juga memantik terbentuknya pameran karya kali ini. Mempertemukan utamanya dua kolektif dan beberapa perwakilan kolektif untuk saling bersinergi dengan visi kompetitif yang sepaham. Derik dirumuskan menjadi tajuk utama sekaligus nama perhelatan pameran ini. Derik menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti tiruan bunyi papan bersanggit. Bunyi tersebut seperti bunyi pintu yang menggores lantai. Suaranya bisa sangat menggelikan dan mengganggu pendengaran. Derik juga bisa disangkutkan pada jenis ular berbisa yang mematikan.
Dentuman di Tengah Terik disepakati sebagai subtema Pameran Derik. Subtema ini diambil dari kepanjangan kata Derik dan mengarahkannya pada suatu ledakan untuk merepresentasikan musim panas. Musim panas sendiri lebih dimaknai sebagai suasana kompetitif perupa dalam menempa karya yang berkualitas, baik secara teknik, visual, bentuk bahkan wacana. Isu lokal pinggiran adalah alegori yang dikaitkan dan dikelola pada setiap karya. Banyak sekali isu pinggiran yang terabaikan dan jarang tersentuh oleh publik.
Padahal isu tersebut juga sama pentingnya dengan apa yang sedang bergulir dipusat. Atas dasar itulah, setiap seniman digiring menuju ke perspektif masing-masing dalam membaca lingkungan sosialnya. Mereka menjadi subjek terkait atas pengalaman disekitar. Setiap karya yang hadir adalah bentuk keunikan narasi seniman dalam merekam dan menerjemahkan ingatan atas pengalamannya.
Pameran seni karya para seniman Pasuruan raya ini digelar di K Gallery, ICC Hotel, Pandaan Pasuruan, dan terbuka untuk umum. (tok/dfn/ipg)