Pro kontra mengenai hukuman mati dalam kasus Herry Wirawan tersangka kekerasan seksual dan pemerkosaan 13 santri di Bandung, masih terus bergulir. Dalam Rapat Kerja di Gedung DPR pada Rabu (12/1/2022) lalu, Komnas HAM menyebut hukuman itu bertentangan dengan prinsip-prinsip HAM.
“Komnas HAM tidak setuju penerapan hukuman mati karena bertentangan dengan prinsip HAM,” kata Beka Ulung Hapsara Komisioner Komnas HAM, Rabu (12/1/2022) lalu.
Baca juga: Pelaku Pemerkosaan 13 Santriwati Hingga Hamil di Bandung Dituntut Hukuman Mati
Arsul Sani Anggota Komisi III DPR RI pun bereaksi. Menurutnya, hukuman mati masih tergolong hukuman positif di Indonesia. Bahkan jika sebelumnya hukuman mati menjadi hukuman pidana pokok, saat ini hukuman mati menjadi hukuman khusus. Yakni saat seseorang dijatuhi hukuman mati, ia harus menjalani hukuman penjara selama 10 tahun. Jika dalam prosesnya tersangka menyesal dan bertaubat atas perbuatannya, maka hukuman mati dapat diubah menjadi penjara seumur hidup.
“Komnas HAM itu institusi negara, maka dia harus menghormati hukum positif di negara ini. Hukuman mati itu masih merupakan hukum positif. Ketika hukum positif ditentang oleh institusi negara maka menjadi lucu,” kata Arsul Sani kepada Radio Suara Surabaya, Jumat (14/1/2022).
Baca juga: Pro Kontra Hukuman Mati, Pengamat Tegaskan Hak Hidup adalah Hak Mutlak yang Dijamin Negara
Ia juga mengkritisi Komnas HAM yang menolak hukuman mati atas nama institusi. Menurutnya, para anggota Komnas HAM harus dapat membedakan mana ideologi hukum secara pribadi, mana yang tertera dalam institusi negara.
“Persoalan teman-teman Komnas HAM sering tidak bisa membedakan apa yang menjadi ideologi hukum diri sendiri, keyakinan, sudut pandang sendiri dan posisi Komnas HAM sebagai institusi negara,” kata Arsul.
Karena menurutnya, hukuman mati di Indonesia sudah memiliki dasar hukum. Sehingga jika Komnas HAM menolak hukuman mati, maka Komnas HAM dianggap juga melawan hukum yang ada di Indonesia.
“Saudara Ulung salah satu komisioner Komnas HAM selalu mengatakan Komnas HAM menentang pidana mati. Tapi kalau secara pribadi, sebagai aktivis, tidak setuju itu boleh. Tapi kalau membentuk pendapat dan menyampaikan sebagai pendapat Komnas HAM, itu lah masalahnya. Masak institusi negara melawan hukum positif,” ujarnya.
Asrul memahmi bahwa hukum Indonesia telah meratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik atau International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR), yang dalam pasal 6 menetapkan bahwa hak hidup adalah hak mutlak atau non derogable rights. Dalam pasal 6 tertulis: “Setiap manusia mempunyai hak hidup, bahwa hak ini dilindungi oleh hukum dan bahwa tidak seorang pun dapat dirampas hak hidupnya secara sewenang-wenang.”
Namun, Arsul juga mengingatkan, bahwa kedudukan ICCPR adalah dibawah konstitusi negara. Sehingga, hukum yang diterapkan di Indonesia juga harus dihormati.
“Negara sudah meratifikasi ICCPR, tapi ICCPR harus ditempatkan di bawah konstitusi kita. Kita masih punya ruang untuk kejahatan-kejahatan tertentu yang menurut kebutuhan hukum nasional, itu memang dihukum mati. Jadi jangan melihat ICCPR dengan kacamata kuda,” kata Asrul.
Baca juga: Jika Hukuman Mati Diterapkan, Indonesia akan Jadi Sorotan Dunia
Mengenai pasal 28 i ayat 1 UUD 1945 mengenai jaminan hak hidup setiap warga yang tidak bisa diambil, menurut Komnas HAM secara hukum, negara menjamin hak hidup setiap warga negara tanpa dikecualikan dalam keadaan apapun.
Dalam Undang Undang Dasar (UUD 1945) pasal 28 i ayat 1 tertulis: ““Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak untuk kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.”
Namun menurut Asrul, pasal tersebut bukan bermakna pasal tanpa syarat, asalkan prosesnya dilakukan dengan proses hukum yang benar. Jika memang tersangka termasuk dalam pelanggaran HAM berat dan pengadilan menjatuhkan hukuman mati setelah menjalani rangkaian proses yang hukum yang benar, maka hukuman mati dapat dilakukan.
“Contoh dulu ada penyelundupan dari luar negeri. Dikritik karena tersangka tidak mendapatkan penerjemah yang baik, tidak mengecek pembelaan dia, dan lain-lain. Tapi kalau proses hukum sudah berkeadilan, maka negara punya hak (menjatuhkan hukuman mati),” ujarnya.
Sehingga ia menyangkal jika hukuman mati di Indonesia tumpang tindih dengan landasan hukum yang lain.
“Tidak berbenturan, pasal 28 itu bukan totally uncondisitional, bukan sama sekali tanpa syarat. Artinya syaratnya apa itu diatur dalam konstitusi, dibaca dengan pasal lain tentang kewajiban menghormati hak orang lain. Kalau dilanggar, berulang-ulang kepada banyak orang, apakah konstitusional tetap tanpa syarat? kan tidak begitu,” jabarnya.
Sebelumnya, dalam program Wawasan Radio Suara Surabaya, Jumat (14/1/2022), Hesti Armiwulan Ketua Laboratorium Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Ubaya menjelaskan mengapa hukuman mati di Indonesia lebih baik dihindari karena adanya landasan hukum yang kuat yang menyatakan, negara menjamin hak hidup setiap warga negara dalam keadaan apapun.
Hal itu tertuang dalam pasal 28 i ayat 1 UUD 1945 dan pasal 6 Konvensi Internasional ICCPR yang menyatakan hak hidup adalah hak mutlak yang tidak dapat dihilangkan.
“Pasal 6 itu menentukan hak hidup itu non derogable rights, hak mutlak yang tidak bisa dikurangi. Secara konstitusi negara memberikan jaminan hidup. Dalam perspektif internasional negara meratifikasi itu. Dalam perspektif HAM, hak hidup tidak bisa dicabut oleh siapapun kecuali yang memberi hidup,” jelasnya.
Di sisi lain, Hesti menjelaskan ada beberapa negara yang masih menerapkan hukuman mati. Namun dengan catatan, yakni hukuman mati diterapkan para tersangka yang terjerat kasus kejahatan serius, yang kategorinya telah ditentukan oleh undang-undang.
Sehingga, harus ada landasan hukum yang kuat, bahwa seorang tersangka telah masuk dalam kategori kejahatan berat tersebut secara hukum. Keputusan itu ditetapkan untuk mengantisipasi penjatuhan hukuman mati yang sewenang-wenang.
“Dalam konvensi tersebut, bagi negara-negara yang belum bisa menghapus hukuman mati, maka bisa dilakukan dengan kategori kejahatan berat. Nah, untuk menentukan kategori serius dan tidak, hanya boleh dilakukan dengan undang-undang. Maka kejahatan itu dikategorikan dulu, entah kejahatan seksual, narkotika, terorisme,” paparnya.
Kedua, hukuman mati dapat diterapkan jika melalui putusan pengadilan yang benar dan adil.(tin/ipg)