Sabtu, 23 November 2024

Pro Kontra Hukuman Mati, Pengamat Tegaskan Hak Hidup adalah Hak Mutlak yang Dijamin Negara

Laporan oleh Agustina Suminar
Bagikan
Herry Wirawan (36) terdakwa kasus pemerkosaan terhadap 13 santriwati di Bandung. Foto: Antara

Beberapa waktu yang lalu, Herry Wirawan tersangka kekerasan seksual dan pemerkosaan 13 santri di Bandung, dituntut hukuman mati. Sontak, tuntutan itu menimbulkan pro dan kontra dari banyak pihak, mengingat hukuman mati melanggar Hak Asasi Manusia berdasarkan kesepakatan Negara-negara dalam Universal Declaration Of Human Right.

Baca juga: Pelaku Pemerkosaan 13 Santriwati Hingga Hamil di Bandung Dituntut Hukuman Mati

Sedangkan masyarakat yang geram dengan kasus ini, mendorong agar Herry Wirawan tetap dihukum mati karena telah merampas ‘hidup’ belasan santriwati yang menjadi korban.

“Komnas HAM jangan melihat di satu sisi. Mereka juga harus melihat hak asasi para korban. Saya setuju kalau tersangka ini diberi hukuman mati, sangat setuju,” kata Nalom pendengar Radio Suara Surabaya.

“Saya berharap Komnas HAM merubah keputusannya,” kata Lauren pendengar SS.

“Memang layak pelaku dihukum mati karena bagaimana HAM bagi korban dan keluarganya,” kata Rizki Perdana pendengar SS.

Menanggapi hal itu, Hesti Armiwulan Ketua Laboratorium Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Ubaya pun ikut angkat bicara.

Dalam program Wawasan Radio Suara Surabaya, Jumat (14/1/2022), ia menjelaskan bahwa berdasarkan undang-undang yang ada di Indonesia, hukum di Indonesia menjamin hak hidup setiap warga negara dan tidak dapat diambil dalam keadaan apapun, seperti yang tertera di Undang Undang Dasar (UUD 1945) pasal 28 i ayat 1.

Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak untuk kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.”

Perempuan yang sekaligus pemerhati HAM itu menegaskan, jika negara menjamin hak hidup setiap orang, berarti negara juga tidak boleh mengambil hak hidup orang lain.

Apalagi, Indonesia juga telah meratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik, yang dalam pasal 6 menetapkan bahwa hak hidup adalah hak mutlak atau non derogable rights.

Setiap manusia mempunyai hak hidup, bahwa hak ini dilindungi oleh hukum dan bahwa tidak seorang pun dapat dirampas hak hidupnya secara sewenang-wenang.

Sehingga jika hukuman mati diterapkan di Indonesia, lanjut Hesti, maka Indonesia berpotensi melanggar Konvensi Internasional tentang hak hidup yang telah dijamin undang-undang.

Baca juga: Jika Hukuman Mati Diterapkan, Indonesia akan Jadi Sorotan Dunia

Sehingga, Hesti menambahkan, saat ini banyak negara-negara di dunia yang telah menghapus hukuman mati karena pertimbangan hak asasi manusia. Maka ia berpandangan, hukuman mati di Indonesia lebih baik dihindari.

“Pasal 6 itu menentukan hak hidup itu non derogable rights, hak multak yang tidak bisa dikurangi. Secara konstitusi negara memberikan jaminan hidup. Dalam perspektif internasional negara meratifikasi itu. Dalam perspektif HAM, hak hidup tidak bisa dicabut oleh siapapun kecuali yang memberi hidup,” jelasnya.

Di sisi lain, Hesti menjelaskan ada beberapa negara yang masih menerapkan hukuman mati. Namun dengan catatan, yakni hukuman mati diterapkan para tersangka yang terjerat kasus kejahatan serius, yang kategorinya telah ditentukan oleh undang-undang.

Sehingga, harus ada landasan hukum yang kuat, bahwa seorang tersangka telah masuk dalam kategori kejahatan berat tersebut secara hukum. Keputusan itu ditetapkan untuk mengantisipasi penjatuhan hukuman mati yang sewenang-wenang.

“Dalam konvensi tersebut, bagi negara-negara yang belum bisa menghapus hukuman mati, maka bisa dilakukan dengan kategori kejahatan berat. Nah, untuk menentukan kategori serius dan tidak, hanya boleh dilakukan dengan undang-undang. Maka kejahatan itu dikategorikan dulu, entah kejahatan seksual, narkotika, terorisme,” paparnya.

Kedua, hukuman mati dapat diterapkan jika melalui putusan pengadilan yang benar dan adil.

Sebelumnya pada Selasa (11/1/2022), Jaksa Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jawa Barat menuntut Herry Wirawan (36) terdakwa kasus pemerkosaan terhadap 13 santriwati untuk dihukum mati.

Asep N Mulyana Kepala Kejati Jabar mengatakan tuntutan hukuman mati itu diberikan karena aksi asusilanya menyebabkan para korban mengalami kehamilan dan dinilai sebagai kejahatan yang sangat serius.

Selain itu, Asep juga mengatakan pihaknya memberikan sejumlah penambahan tuntutan hukuman lain kepada terdakwa yang melakukan aksi tidak terpuji tersebut.

Herry oleh jaksa dituntut untuk membayar denda sebesar Rp500 juta, dan juga dituntut membayar restitusi kepada para korban sebesar Rp331 juta.

Menurutnya pertimbangan hukuman mati itu diberikan karena kejahatan Herry itu dilakukan kepada anak asuhnya ketika dirinya memiliki kedudukan atau kuasa sebagai pemilik pondok pesantren.

“Perbuatan terdakwa itu bukan saja berpengaruh kepada kehormatan fisik, tapi berpengaruh ke psikologis dan emosional para santri keseluruhan,” tuturnya.

Dan yang menurutnya paling berat, yakni Herry menggunakan simbol-simbol agama dan pendidikan untuk melancarkan aksinya tersebut.(tin/ipg)

Berita Terkait

Surabaya
Sabtu, 23 November 2024
26o
Kurs