Sabtu, 23 November 2024

Tren Adopsi Boneka Arwah di Kalangan Artis, Begini Kata Pakar Psikologi Unair

Laporan oleh Iping Supingah
Bagikan
Ivan Gunawan bersama spirit doll bernama Miracle (Eqqel) dan Marvelous (Marvel). Foto: Instagram @ivan_gunawan

Akhir-akhir ini, jagat hiburan digemparkan dengan tren adopsi spirit doll atau boneka arwah. Boneka yang hanya sebagai benda mati, namun sebagian orang menjadikannya seperti makhluk hidup. Beberapa orang tersebut bahkan tidak segan untuk merawat para boneka arwah layaknya seorang bayi.

Prof. Dr. Nurul Hartini, S.Psi., M.Kes., Psikolog, melihat fenomena tersebut sebagai hal yang perlu menjadi perhatian. Dosen Fakultas Psikologi Universitas Airlangga (FPsi Unair) itu menyebut bahwa tindakan tersebut telah mengarah kepada perilaku yang tidak wajar.

“Ketika seseorang menganggap boneka tersebut hidup dan percaya bahwa mereka akan bertumbuh besar, maka hal itu telah keluar dari batas akal sehat. Perilaku tersebut menjadi keanehan tersendiri yang disebabkan oleh berbagai faktor,” tutur Prof. Nurul.

Prof. Dr. Nurul Hartini, S.Psi., M.Kes., Psikolog yang juga Dosen Fakultas Psikologi Universitas Airlangga (Unair) Surabaya. Foto: Dok. Pribadi

Salah satu faktor yang mungkin ada yakni mengikuti tren di kalangan selebritis. “Bisa jadi mereka hanya mencari sensasi agar popularitasnya naik,” sambung Prof. Nurul.

Meski demikian, segala sesuatu tetap ada batasnya agar justru tidak merugikan kesehatan mental.

“Karena apabila perilaku tersebut dibiarkan terjadi secara terus-menerus, maka akan berdampak terhadap kondisi kesehatan mental seseorang. Jika ketidakwajaran itu tidak segera dihentikan, maka berisiko pada keadaan psikopatologinya (ketidakstabilan fungsi kejiwaan
yang meliputi indera, kognisi, dan emosi, Red). Segala kondisi berisiko harus ditangani sedini mungkin agar tidak semakin sulit untuk mengembalikan kepada kondisi yang rasional dan realistis,” jelas Prof. Nurul.

Lebih lanjut, sejatinya bagi sebagian orang bahwa boneka dapat menjadi strategi pemulihan mental (coping stress, Red).

“Misalnya ketika seseorang pernah kehilangan anaknya, maka boneka dapat menjadi terapi psikologis bagi mereka. Karena secara psikologis juga boneka bisa menjadi sarana penyegaran pikiran bagi individu selama tidak berlebihan dan harus tetap di bawah pendampingan dari psikolog atau psikiater,” ungkap Prof. Nurul.

Akan tetapi terlepas dari manfaat tersebut, sejatinya boneka hanyalah benda mati. Mereka hanya menjadi perangkat yang tidak memiliki hal-hal khusus, kecuali hanya pengaruh dari perlakuan sang pemilik.

Ketika kita memperlakukan boneka secara spesial, Prof. Nurul mengimbau agar mencari tahu alasannya. Apabila hanya mengarahkan kepada perilaku negatif yang melampaui batas kewajaran, maka harus segera dihentikan agar tidak terjebak pada situasi yang kurang sehat, baik secara psikologis maupun mental.

Sebagai orang yang mungkin dekat dengan individu yang berperilaku di luar batas tersebut, tentu kita memiliki kewajiban untuk membantu mereka. Prof. Nurul menyarankan agar terlebih dahulu kita menanyakan penyebab mereka untuk bertindak demikian.

“Selagi jawabannya masih rasional, ya tidak apa-apa,” lanjutnya.

Lain halnya ketika ketidakwajaran semakin jelas terlihat, yakni benar-benar menganggap boneka tersebut hidup, maka kita dapat memberi nasehat bahwa perilaku mereka mulai mengkhawatirkan. Terakhir jika masih tidak ada perubahan, maka kita dapat membantu
mengarahkan mereka untuk datang ke psikolog atau psikiater.

“Kuncinya adalah rasional, realistis, dan proporsional. Selama tiga hal itu terpenuhi, maka kita senantiasa objektif dalam memikirkan, merasakan, dan melakukan segala hal,” pungkas Prof. Nurul yang juga anggota Ikatan Psikologi Klinis Indonesia tersebut.(ipg)

Berita Terkait

Surabaya
Sabtu, 23 November 2024
28o
Kurs