Tahun 2021 diharapkan menjadi momentum pemulihan ekonomi Indonesia yang terpuruk akibat pandemi COVID-19 pada 2020, termasuk dari sisi investasi.
Namun, pandemi yang tidak juga mereda hingga putusan Mahkamah Konstitusi (MK) atas keabsahan UU Cipta Kerja mewarnai naik turunnya upaya pemerintah menjaga laju investasi di tahun 2021.
Menginjak tahun 2021, pemerintah gencar melakukan segala cara untuk bisa terus mendorong laju investasi, mulai dari mengubah status Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) menjadi Kementerian Investasi hingga memastikan pandemi Covid-19 bisa terkendali.
Pada 28 April 2021, Joko Widodo Presiden melantik Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia sebagai Menteri Investasi Kabinet Indonesia Maju, untuk sisa masa jabatan 2019-2024.
Dengan naiknya status BKPM menjadi Kementerian Investasi, maka kewenangan yang tadinya tak bisa dilakukan jadi bisa dilakukan, termasuk soal kewenangan membuat regulasi.
“BKPM selama ini mengeksekusi regulasi. Kita eksekusi Permen-Permen (Peraturan Menteri), kemudian Undang-Undang maupun PP (Peraturan Pemerintah). Kita tidak bisa membuat regulasi untuk membuat aturan permainan,” kata Bahlil Lahadalia seperti yang dilansir Antara.
Meningkatnya status BKPM menjadi kementerian diklaim akan memudahkan investasi yang masuk sehingga kepercayaan investor bisa terus terjaga.
Selain melakukan perubahan status organisasi, pemerintah pun gencar menerbitkan aturan untuk mendukung kemudahan investasi sebagaimana amanat dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta kerja (UU CK).
UU yang menyatukan 80 Undang-Undang dan lebih dari 1.200 pasal itu bertujuan untuk mendorong investasi, mempercepat transformasi ekonomi, menyelaraskan kebijakan pusat-daerah, memberi kemudahan berusaha, mengatasi masalah regulasi yang tumpang tindih, serta untuk menghilangkan ego sektoral.
Total, ada 47 Peraturan Pemerintah (PP) dan 4 Peraturan Presiden (Perpres) turunan UU Cipta Kerja yang diterbitkan guna memuluskan investasi.
Di tengah upaya-upaya yang dilakukan, tidak disangka-sangka, pada pertengahan tahun, kasus Covid-19 di Indonesia melonjak drastis, bahkan mencapai puncaknya. Pada 15 Juli 2021, tercatat ada 56 ribu kasus konfirmasi positif Covid-19.
Bahkan pada 27 Juli 2021,Indonesia mengalami puncak kasus kematian yaitu 2.069 orang meninggal akibat Covid-19 dalam kurun waktu 24 jam.
Untuk menekan penularan yang masif, pemerintah langsung memberlakukan Perberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat.
Kala itu, pembatasan kegiatan diberlakukan secara ketat. Kegiatan ibadah, fasilitas umum/area publik, kegiatan seni/budaya, olahraga, sosial kemasyarakatan ditutup sementara. Begitu pula mall/pusat perbelanjaan. Ada pun kegiatan industri dibatasi dan kegiatan perkantoran dan sekolah dilakukan dari rumah.
Pengetatan aktivitas tentu membuat ekonomi tersendat. Banyak usaha yang harus menanggung kerugian karena operasional yang terbatas.
Lantas, bagaimana laju investasi di tengah pengetatan aktivitas?
Kementerian Investasi/BKPM mencatat realisasi investasi pada triwulan I (periode Januari-Maret) untuk tahun 2021 mencapai Rp219,7 triliun. Kemudian, pada triwulan II (April-Juni) mencapai Rp223,0 triliun dan pada triwulan III (Juli-September) sebesar Rp216,7 triliun.
Secara kumulatif, sepanjang Januari-September 2021, realisasi investasi mencapai Rp659,4 triliun atau mencapai 73,3 persen dari target yang ditetapkan Presiden Jokowi sebesar Rp900 triliun.
Meski hampir mencapai tiga perempat dari target, terlihat bahwa ada penurunan di triwulan III yang kemungkinan besar terjadi karena adanya pembatasan aktivitas pada pertengahan tahun karena kebijakan PPKM Darurat.
“…tapi kita tetap kerja terus, kita kawal perusahaan end-to-end, dan kita turunkan tim ke lapangan,” kata Bahlil.
Menurut mantan Ketua Umum HIPMI itu, capaian realisasi investasi yang juga meningkat secara tahunan mencerminkan bahwa kemungkinan pengusaha/investor kini telah beradaptasi dengan kondisi pandemi dan tetap percaya diri merealisasikan investasinya.
Oleh karena itu, meski gelombang kedua telah terlewati dan kini babak baru varian Omicron sudah masuk Tanah Air, pemerintah masih yakin kepercayaan investor akan iklim investasi di Indonesia masih tinggi.
Lebih-lebih karena penanganan pandemi Indonesia yang banyak dipuji dunia karena sukses menahan laju penularan dengan pengetatan dan pelonggaran kegiatan masyarakat, serta terus menggenjot vaksinasi.
Kepercayaan tetap tinggi
“Di Indonesia, sekalipun alami pandemi Covid-19, trust (kepercayaan) investor khususnya FDI (investasi asing langsung) itu tinggi sekali,” ungkap Bahlil.
Bahlil menilai kepercayaan investor pun ditunjukkan dari banyaknya realisasi investasi sepanjang tahun 2021. Pemerintah Indonesia juga berhasil meraih investasi baterai kendaraan listrik dari konsorsium asal Korea Selatan senilai 9,8 miliar dolar AS.
Bahkan, pada September 2021, telah dilakukan peletakkan batu pertama (groundbreaking) yang menandai pembangunan pabrik baterai mobil listrik proyek Hyundai Motor Group dengan LG Energy Solution di Karawang, Jawa Barat. Nilai investasinya mencapai 1,1 miliar dolar AS dan rencananya rampung 2023.
Tidak hanya proyek raksasa yang sejalan dengan visi hilirisasi, Indonesia pun berhasil merelokasi 23 perusahaan telah merelokasi investasinya dari sejumlah negara ke Indonesia dengan total rencana investasi sebesar 8,12 miliar dolar AS dalam dua tahun terakhir.
Bahkan hingga di hari-hari terakhir di penghujung 2021, Presiden Jokowi masih meresmikan dimulainya proyek pembangunan kawasan hijau di Kabupaten Bulungan, Kalimantan Utara (Kaltara), Rumah Sakit Internasional Bali di Sanur, Bali, hingga smelter nikel di Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara (Sultra).
Di sisi lain, meski Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan bahwa UU Cipta Kerja bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat, pemerintah masih optimis masih ada geliat investasi ke depan.
Bahlil juga mengaku terus menjaga komunikasi dengan para investor pascaputusan MK atas UU Cipta Kerja sebagai upaya mitigasi agar putusan tersebut tak berdampak signifikan terhadap realisasi investasi.
“Dampaknya pasti ada, namun dampak itu bisa dikelola kalau dilakukan komunikasi yang baik. Tinggal bagaimana beri jaminan itu kepada teman dunia usaha. Itu adalah pekerjaan kami,” kata Bahlil optimis.
Naik turunnya kepercayaan investor di tengah kondisi tak menentu seperti saat ini sangat wajar terjadi. Optimisme dan upaya keras perlu terus dilakukan, bukan hanya untuk mengejar target nominal tetapi dampak ganda yang akan memberi manfaat bagi rakyat.(ant/tin/ipg)