Zulfikri Pelaksana tugas (Plt.) Kepala Pusat Kurikulum dan Pembelajaran Kemendikbudristek mengatakan, pandemi membuka peluang untuk menghadirkan inovasi dalam pembelajaran.
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) telah melakukan beberapa terobosan di antaranya dengan menyederhanakan Kurikulum 2013 menjadi kurikulum darurat, dalam rangka pemulihan pembelajaran sebagai bagian dari mitigasi hilangnya pembelajaran (learning loss) di masa pandemi. Dampak positif penerapan kurikulum darurat menjadi dasar dibukanya opsi bagi kurikulum prototipe yang bersifat sukarela bagi satuan pendidikan. Untuk itu, sekolah diminta memahami secara mendalam konsep kurikulum ini terlebih dahulu.
“Karena ini pemulihan, dilakukan pengurangan materi dari Kurikulum 2013 yang padat dan dipilih materi yang esensial. Sehingga guru punya waktu memulihkan proses pembelajaan itu dan melakukan inovasi pembelajaran yang fokus kepada anak berdasarkan konteks, kebutuhan, dan potensi anak yang beragam,” jelas Zulfikri dalam keterangannya, Rabu (29/12/2021).
Zulfikri mengatakan, dengan makin meningkatnya layanan pembelajaran di sekolah, maka anak akan tumbuh dan berkembang sesuai potensi, dan hilangnya pembelajaran (learning loss) bisa diatasi.
“Kalau mengunakan kurikulum yang padat materi, sementara PTM dilakukan secara terbatas, itu tidak mungkin (akan mencapai kualitas belajar yang diharapkan). Sehingga (kurikulumnya) perlu disederhanakan,” jelasnya.
Keuntungan dari kurikulum prototipe, kata Zulfikri, guru tidak dikejar-kejar target materi pembelajaran yang padat, guru lebih fokus pada materi esensial yang berorientasi pada kebutuhan dan penguatan karakter siswa, metode pembelajarannya lebih bervariasi, situasi belajar lebih menyenangkan bagi guru dan siswa, serta guru diberi kesempatan untuk mengeksplor potensi siswa lewat berbagai inovasi pembelajaran.
“Kurikulum prototipe berbasis kompetensi statusnya semacam model. Model untuk pilihan di mana guru dan murid tidak merasa terlalu terbebani. Penyempurnaan dari kurikulum darurat, di kurikulum prototipe ini (strukturnya) lebih ditata selain disedehanakan juga,” ungkap Zulfikri.
Kemendikbudristek juga telah melakukan pengawasan dan evaluasi penerapan kurikulum darurat yang disebut dapat mengurangi dampak learning loss akibat pandemi secara signifikan. Studi Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan (BSKAP) menunjukkan bahwa siswa pengguna kurikulum darurat mendapat capaian belajar yang lebih baik daripada pengguna Kurikulum 2013 secara penuh, terlepas dari latar belakang sosio-ekonominya. Bila kenaikan hasil belajar itu direfleksikan ke proyeksi learning loss numerasi dan literasi, penggunaan kurikulum darurat dapat mengurangi dampak pandemi sebesar 73 persen (literasi) dan 86 persen (numerasi).
“Saat penerapan kurikulum darurat, terjadi mitigasi 73 persen dari learning loss. Dan ini dilanjutkan dengan kurikulum prototipe pemulihan pembelajaran yang menjadi dasar untuk pengembangan kurikulum prototipe. Selama dua tahun, yaitu tahun 2022 sampai dengan 2024 sekolah dapat menerapkan kurikulum prototipe ini. Untuk kemudian akan kita evaluasi kembali,” tutur Zulfikri.
Dalam waktu dekat Kemendikbudristek segera menawarkan opsi kebijakan kurikulum untuk pemulihan pembelajaran. Opsi kurikulum yang ditawarkan adalah kurikulum prototipe yang mendorong pembelajaran yang sesuai dengan kemampuan siswa, serta memberi ruang lebih luas pada pengembangan karakter dan kompetensi dasar.
“Di tahun depan tidak ada kebijakan kurikulum baru, tetapi kebijakan pemulihan pembelajaran akibat pandemi. Dalam dua tahun ke depan, kurikulum yang disederhanakan akan terus dievaluasi sambil memperkenalkan kepada seluruh masyarakat,” kata Zulfikri.
Oleh karena itu, untuk melihat efektivitas penerapan kurikulum prototipe secara terbatas, satuan pendidikan yang telah bergabung dalam barisan Sekolah Penggerak akan dilibatkan. Zulfikri menekankan bahwa penerapan kurikulum prototipe bukan suatu perintah, melainkan pilihan.
“Kami ingin, satuan pendidikan (sukarela) menerapkannya berdasarkan pemahaman yang baik sehingga merasa memiliki dengan kurikulum apapun yang dipilih. Bukannya mengatakan ini kurikulum pusat. Sekali lagi, tidak ada unsur paksaan karena kalau status kebijakan ini (sifatnya) wajib, maka siapapun akan menjalankannya meski sebenarnya dia tidak mau atau tidak paham,” tegasnya.
Bagi satuan pendidikan yang tertarik, sebagai langkah awal, mereka akan diberi pemahaman tentang paradigma kurikulum ini terlebih dahulu. Lalu, sekolah diberi kebebasan untuk memilih apakah ingin langsung belajar sambil praktek, atau ingin mempelajari dulu konsepnya selama satu tahun untuk kemudian baru diimplementasikan di tahun berikutnya. Kemudian, guru dan siswa diberi kesempatan untuk memberi umpan balik terkait pengalaman mereka selama menjalankan kurikulum ini.
Kurikulum prototipe, dijelaskan Zulfikri, berbasis proyek yang mengacu pada nilai-nilai Pelajar Pancasila. Misalnya, ketika siswa belajar kepedulian terhadap lingkungan dengan cara mengelompokkan sampah, maka di saat yang sama mereka juga belajar bekerja sama. Sangat mungkin satu proyek terkait dengan beberapa materi pembelajaran maupun lintas mata pelajaran. Proyeknya tidak menambah waktu belajar tapi mengambil 20-30 persen jam pelajaran.
“Orientasinya memberi ruang kepada anak untuk berkreasi dan mengembangkan potensi belajar mereka supaya anak merasa menemukan makna dari belajar itu dan bisa memecahkan masalahnya sendiri secara mandiri maupun berkelompok sehingga sisi akademik dan nonakademiknya berkembang secara utuh,” kata dia.
Untuk mengoptimalisasikan penerapan kurikulum prototipe, Zulfikri menyarankan agar Guru Bimbingan Konseling (BK) turut membantu siswa menentukan pilihan mata pelajaran yang sesuai dengan minatnya.
“Kita sedang rumuskan panduannya termasuk pengelolaan kelasnya. Apakah ada batasan minimum untuk kelas peminatan tertentu dan bagaimana mengarahkan anak dalam menentukan pilihan sesuai minat mereka. Dua tahun ini masa pengembangan dan evaluasi. Tahun 2024 nanti kita akan lihat kurikulumnya seperti apa secara nasional,” jelas Zulfikri.
Zulfikri mengingatkan, sebelum guru memulai pembelajaran, harus memahami materi yang akan dipelajari siswa, apa makna dari pembelajaran tersebut, metode apa yang menarik minat belajar siswa, serta identifikasi apakah ada perubahan positif pada diri siswa setelah belajar.
“Kepala-kepala sekolah harus paham betul konsep pembelajaran yang berorientasi pada siswa supaya bisa mengelola SDM yang ada di satuan pendidikan dan melihat kualitas belajar anak. Kepala sekolah juga harus melakukan supervisi ke dalam kelas, serta membangun jejaring dengan komite dan masyarakat untuk menjamin proses belajar yang berlangsung memiliki manfaat,” terangnya.(faz/dfn/rst)