Tahun 2021 digadang-gadang sebagai fase pemulihan setelah terpuruk pada 2020. Hal tersebut dapat terlihat pada APBN 2021 yang mengusung tema “Percepatan pemulihan ekonomi dan penguatan reformasi”. Namun hingga memasuki ujung 2021, tampaknya target yang ditetapkan belum dapat terwujud.
Sekadar diketahui, pada September 2020, Komisi XI DPR-RI dan Pemerintah menyepakati pertumbuhan ekonomi 2021 pada rentang 4,5 persen hingga 5,5 persen. Menteri Keuangan tercatat beberapa kali merevisi target pertumbuhan ekonomi, terakhir menurunkan pada kisaran 3,5 persen hingga 4 persen.
Sementara Dana Moneter Internasional (IMF) memperkirakan ekonomi Indonesia hanya tumbuh 3,2 persen. Kemudian Bank Pembangunan Asia (ADB) meramalkan di angka 3,5 persen. Sedangkan Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) memprediksi sebesar 3,7 persen.
Menanggapi hal tersebut, Heri Gunawan anggota Komisi XI DPR-RI mengungkapkan ada beberapa faktor yang menyebabkan pertumbuhan ekonomi 2021 belum mencapai target.
“Faktor pertama, di antaranya belum ditindaklanjutinya arahan presiden untuk mempercepat belanja di awal-awal tahun,” kata Heri Gunawan yang juga menjabat sebagai Kapoksi Fraksi Gerindra di Komisi XI DPR-RI dalam keterangannya, Senin (27/12/2021).
Politisi yang biasa disapa Hergun ini membeberkan data yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS), bahwa pengeluaran konsumsi pemerintah pada kuartal I-2021 hanya sebesar Rp265,9 triliun. Angka tersebut menurun sebesar 43,35 persen (qtoq) dibandingkan konsumsi pemerintah pada kuartal IV-2020 yang mencapai Rp481,8 triliun. Sementara bila dibandingkan dengan kuartal I-2020 dengan capaian sebesar Rp254,8 triliun, hanya mengalami kenaikan sebesar 2,96 persen (yoy).
“Belanja pemerintah yang diharapkan menjadi stimulus kegiatan perekonomian, belum berhasil mendorong secara optimal. Pada kuartal I-2021 pertumbuhan ekonomi tercatat minus 0,74 persen (yoy), melanjutkan kontraksi ekonomi sebanyak empat kali berturut-turut,” jelasnya.
Faktor kedua, pemerintah relatif terlambat mengantisipasi masuknya Covid-19 varian Delta. Di saat negara-negara lain sudah menutup diri, Indonesia masih menerima pesawat carter dari India. Kebijakan tersebut harus dibayar mahal dengan melonjaknya kasus Covid-19.
Lalu faktor ketiga, adanya kebijakan PPKM sehingga menyebabkan berkurangnya kegiatan ekonomi dan menurunnya mobilitas masyarakat.
“Guna mengantisipasi bertambahnya pasien Covid-19 dan korban meninggal dunia, pemerintah memberlakukan pembatasan sosial yang disebut dengan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat lalu diganti menjadi PPKM level 1 hingga 4,” papar Hergun.
Akibatnya, pertumbuhan ekonomi pada kuartal III-2021 hanya tercapai sebesar 3,51 (yoy), gagal melanjutkan capaian pertumbuhan ekonomi pada kuartal II-2021 yang mampu tumbuh impresif hingga 7,07 persen (yoy).
“Lalu faktor yang keempat, pemerintah masih belum memaksimalkan keberadaan UU Cipta Kerja,” kata Hergun.
Menurut data Kementerian Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), realisasi investasi periode Januari hingga September 2021 sebesar Rp Rp659,4 triliun. Capaian tersebut hanya naik 7,9 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu yakni sebesar Rp611,1 triliun.
“Sementara dana asing ratusan triliun yang dijanjikan akan masuk ke Lembaga Pengelola Investasi (LPI)/Indonesia Invesment Authority (INA) hingga Desember 2021 juga belum tampak realisasinya. Padahal pemerintah telah mengucurkan modal kepada LPI/INA sebesar Rp75 triliun. Terdiri dari modal tunai dari APBN 2020 sebesar Rp15 triliun, APBN 2021 Rp15 triliun, inbreng saham Bank Mandiri senilai Rp22,67 triliun, serta saham Bank BRI senilai Rp22,33 triliun,” tambahnya.
Selain pertumbuhan ekonomi, lanjut Hergun, target lainnya yang belum tercapai di antaranya adalah tingkat kemiskinan yang ditargetkan pada kisaran 9,2 persen hingga 9,7 persen, menurut data BPS per Maret 2021 masih berada pada angka 10,14 persen.
Sementara gini rasio yang ditetapkan pada rentang 0,377 hingga 0,379, menurut data BPS per Maret 2021 masih berada di angka 0,384. Sedangkan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang ditetapkan pada kisaran 72,78 hingga 72,95, menurut rilis BPS Per November 2021 baru tercapai 72,29.
“Adapun target yang sudah tercapai di antaranya Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) yang ditetapkan pada kisaran 7,7 persen hingga 9,1 persen, menurut data BPS per Agustus 2021 sudah menurun hingga mencapai 6,49 persen,” jelas Hergun.
Dia menambahkan, memasuki tahun 2022 Pemerintah dan Komisi XI DPR-RI sudah menyepakati target pertumbuhan ekonomi pada kisaran 5,2 persen hingga 5,5 persen. Melihat berbagai prediksi pertumbuhan ekonomi pada 2021 tentunya target 2022 masih cukup rasional. Capaian ekonomi 2021 diharapkan menjadi modal positif dalam menyongsong 2022.
Kata dia, ada beberapa faktor pendukung yang bisa dioptimalkan untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi 2022.
Pertama, lanjut Hergun, capaian ekonomi 2021 meskipun belum maksimal namun sudah tumbuh positif dibanding pada 2020 yang tumbuh minus 2,07 persen. Capaian pada 2021 bisa menjadi pijakan untuk mewujudkan pertumbuhan yang lebih tinggi pada 2022.
“Menurut data BPS pada kuartal III-2021, dari sisi lapangan usaha, kinerja lapangan usaha utama seperti industri pengolahan, perdagangan, dan pertambangan sudah tumbuh positif, maka perlu ditingkatkan lagi. Sementara lapangan usaha mobilitas seperti penyediaan akomodasi dan makan-minum serta transportasi dan pergudangan masih mengalami kontraksi, maka perlu diberi stimulus,” jelasnya.
“Sedangkan dari sisi pengeluaran, konsumsi rumah tangga hanya tumbuh 1,03 persen (yoy), investasi tumbuh melambat 3,74 persen (yoy), dan konsumsi pemerintah tumbuh 0,66 persen (yoy), perlu direspon dengan kebijakan yang tepat dan akomodatif,” lanjut Hergun.
Kedua, DPR-RI dan Pemerintah sudah mengesahkan UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan.
“Dengan UU HPP diharapkan penerimaan perpajakan bisa meningkat sehingga bisa mengurangi defisit APBN. Dengan berkurangnya defisit APBN maka beban fiskal semakin ringan serta kinerja pembangunan dapat lebih ditingkatkan,” tegas Hergun.
Sekadar diketahui, pada 2022 defisit APBN ditetapkan sebesar 4,85 persen terhadap PDB. Sementara penerimaan APBN ditetapkan sebesar Rp1.846,1 triliun.
“UU HPP yang di antaranya mengatur tentang pajak karbon, pengungkapan sukarela, serta fleksibilitas tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPn), diharapkan dapat memberikan penambahan penerimaan perpajakan sebesar Rp150 triliun. Artinya, total penerimaan APBN akan menjadi Rp2.000 triliun,” jelasnya.
Ketiga, DPR-RI dan Pemerintah telah mengesahkan UU Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (HKPD).
Sejak tahun 2001 Indonesia memberlakukan otonomi daerah yang dibarengi dengan desentralisasi fiskal. Namun, kondisi fiskal daerah hingga 2019 tidak terlalu menggembirakan.
Menurut catatan BPK pada tahun 2019, dari 514 kabupaten/kota, yang terdiri dari 416 kabupaten dan 98 kota, serta 34 provinsi, hanya ada 1 daerah yang berhasil menjadi daerah sangat mandiri dan 10 daerah mandiri dari transfer Pemerintah Pusat.
“Karena itu, melalui UU HKPD diharapkan akan terwujud pemerataan dan penguatan ekonomi di seluruh wilayah Indonesia. Pertumbuhan ekonomi daerah merupakan penopang pertumbuhan ekonomi nasional,” ujar Hergun.
“UU HKPD mengusung empat pilar yakni penurunan ketimpangan vertikal dan horisontal, peningkatan kualitas belanja daerah, penguatan local taxing power, dan harmonisasi belanja pusat dan daerah,” lanjutnya.
Keempat, lanjut Hergun, berbagai indikator lainnya seperti pertumbuhan ekonomi global yang lebih seimbang, kenaikan perdagangan dunia dan harga komoditas, peningkatan mobilitas masyarakat di berbagai daerah, kenaikan penjualan eceran, penguatan keyakinan konsumen, serta ekspansi PMI Manufaktur, diperkirakan akan terus berlanjut pada 2022.
“Namun, optimisme menyambut 2022 masih dibayang-bayangi oleh gangguan rantai pasok dan kenaikan penyebaran varian Omicron. Sejumlah negara sudah melaporkan peningkatan kasus Omicron dan menindaklanjutinya dengan pengetatan pintu masuk negara bahkan sudah ada yang melakukan lockdown,” ujar Hergun.
Penyebaran varian Omicron tidak boleh dipandang sebelah mata. Pemerintah harus meresponnya dengan memberlakukan kebijakan yang antisipatif, responsif dan terukur. Jika gagal menangani varian Omicron, bukan tidak mungkin momentum pemulihan ekonomi yang sudah di jalur yang tepat bisa kembali masuk ke jurang resesi seperti 2020.
“Guna mengantisipasi hal tersebut, pemerintah bersama anggota Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) yaitu; Menteri Keuangan, Gubernur Bank Indonesia, Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan, dan Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan, perlu terus melanjutkan sinergitas dan perbaikan struktural untuk menjaga pemulihan ekonomi nasional,” kata Hergun.
Namun, lanjutnya, perlu ditegaskan bahwa sinergitas Bank Indonesia dalam KSSK tersebut tanpa harus mengurangi independensinya.
“Kebijakan Bank Indonesia selama 2021 juga patut diberi apresiasi. Arah bauran kebijakan Bank Indonesia terbukti memberikan andil terhadap terjaganya stabilitas dan pertumbuhan ekonomi,” ujar Hergun.
Menurut data, selama 2021 BI kembali mengucurkan Quantitative Easing (QE) sebesar Rp141,19 triliun. BI juga melanjutkan pembelian SBN untuk pendanaan APBN sebesar Rp201,32 triliun. Selain itu, BI juga menurunkan suku bunga acuan (BI7DRR) menjadi 3,5 persen atau yang terendah sepanjang sejarah sejak Februari 2021 hingga Desember 2021.
Hergun berharap pada 2022 nanti, arah bauran kebijakan Bank Indonesia tetap ditujukan untuk menjaga stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan serta mendorong pertumbuhan ekonomi.
“Kebijakan moneter untuk menjaga stabilitas. Sementara kebijakan makroprudensial, sistem pembayaran, pendalaman pasar uang, serta ekonomi-keuangan inklusif dan hijau, tetap untuk mendorong pertumbuhan ekonomi,” jelasnya.
Dia melanjutkan, permasalahan lain yang perlu mendapat perhatian adalah belum pulihnya pertumbuhan kredit perbankan. Perlu diketahui, kredit perbankan dapat diibaratkan sebagai arus darah bagi perekonomian. Kredit memasok dana bagi kebutuhan berproduksi dan berkonsumsi. Target pertumbuhan ekonomi yang tinggi membutuhkan dukungan kredit perbankan yang tinggi juga, baik berupa kredit konsumtif, kredit modal kerja, maupun kredit investasi.
Menurut Otoritas Jasa Keuangan (OJK), pertumbuhan kredit pada awal Desember 2021 telah mencapai 3,98 persen dan diprediksi akan mencapai 4,5 persen (yoy) pada akhir tahun 2021.
“Prediksi pertumbuhan kredit 2021 yang mencapai 4,5 persen merupakan capaian yang lebih baik dibanding tahun 2020 yang terkontraksi 2,41 persen. Namun, capaian tersebut masih lebih rendah bila dibandingkan dengan realisasi pertumbuhan kredit sebelum Covid-19, dimana pada 2019 tumbuh sebesar 6,08 persen dan 2018 sebesar 11,7 persen,” tambahnya.
Selain itu, lanjutnya, keperpihakan terhadap UMKM juga perlu diwujudkan dengan meningkatkan porsi kredit untuk UMKM. Dimana sektor UMKM diharapkan menjadi tulang punggung perekonomian di Indonesia, disamping banyak menyerap tenaga kerja dan turut membangkitkan bisnis domestik.
“Saat ini porsi kredit untuk UMKM baru mencapai 20 persen dari total kredit perbankan, sisanya belum mendapatkan akses kredit ke perbankan. Angka tersebut masih lebih rendah dibanding negara-negara lain. Singapura memiliki porsi kredit untuk UMKM sebesar 39 persen, Malaysia 50 persen, Thailand di atas 50 persen, dan Korea Selatan mencapai 81 persen. Tahun 2022, diharapkan pemerintah maupun sektor finansial harus mampu melihat peluang ini, memberikan akses kredit perbankan kepada UMKM dapat menjadi potensi yang menjanjikan asalkan industri keuangan jeli mengidentifikasi UMKM yang berpotensi tumbuh dan berkembang. Presiden Jokowi menargetkan porsi kredit UMKM akan mencapai 30 persen pada 2024,” tambahnya.
Peran lain yang tidak kalah penting ialah kebijakan yang dilakukan oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).
“Ada tiga kebijakan penting LPS, yakni mengimplementasikan program penjaminan simpanan yang konsisten dan kredibel, menurunkan tingkat bunga penjaminan sehingga mendorong intermediasi perbankan, serta mengelola dana penjaminan secara prudent dan menjaga likuiditas agar dapat menjalankan fungsi penjaminan dan resolusi bank apabila diperlukan setiap saat,” paparnya.
Pada akhir 2020 Tingkat Bunga Penjaminan di level 4,5 persen untuk simpanan dalam rupiah di Bank Umum. Pada kuartal I-2021, LPS menurunkan menjadi 4,25 persen. Kemudian pada Mei 2021 menurunkan lagi menjadi 4,00 persen. Dan pada September 2021, kembali menurunkan sebesar 50 bps sehingga menjadi 3,5 persen.
“Tahun 2022 merupakan batas terakhir berlakunya relaksasi defisit APBN melebihi 3 persen. Karena itu, ekonomi 2022 harus bisa tumbuh tinggi dengan basis penerimaan pajak yang lebih kuat untuk menyongsong tahun 2023,” pungkas Hergun.(faz/ipg)