Rabu, 25 September 2024

Mengusir Mitos demi Melindungi dan Memberdayakan Burung Hantu

Laporan oleh Muchlis Fadjarudin
Bagikan
Tempat karantina burung hantu di Desa Sumberharjo, Kecamatan Moilong, Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah yang merupakan bagian dari pertanian ramah lingkungan yang digagas JOB Pertamina-Medco E & P Tomori Sulawesi. Foto: Istimewa

Pemerintah Desa Sumber Harjo, Kecamatan Moilong, Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah berhasil menekan hama tikus yang menyerang padi dengan bantuan burung hantu. Regulasi lokal menjadi satu di antara kuncinya.

Semua berawal pada 2016, saat sebagian besar dari 150 hektare padi di Sumber Harjo mengalami kegagalan panen akibat serbuan tikus. Ada petani yang gagal panen, ada pula yang kehilangan 50 persen hasil budidayanya. Semua cara sudah dicoba untuk mengatasi persoalan, mulai dari gropyokan, memasang perangkap, membuat umpan racun, hingga memasang jebakan listrik di sawah.

Susori, petani dari kelompok tani Sumber Tani Lestari binaan Pertamina mengatakan, ada rotasi persoalan hama setiap musim. “Mulai dari tikus, wereng, hingga ulat, setiap musim hamanya itu terus,” kata dia.

Wereng dan ulat bisa dibasmi dengan racun nabati. Namun tikus benar-benar merepotkan. Para petani kemudian bermusyawarah dengan perwakilan pemerintah daerah dan Balai Penyuluh Pertanian untuk mencari solusi yang tepat. Solusinya kembali ke alam, yakni mencari predator tikus.

Opsi pertama adalah kucing. “Kucing memang pemangsa tikus. Cuma ini di sawah, kucing takut air. Akhirnya kami gagalkan rencana itu. Anjing sebenarnya juga bisa karena memangsa tikus. Tapi dia terbatas, hanya saat siang,” kata Susori.

Kucing dan anjing dicoret dari opsi solusi. “Ada solusi memakai ular sawah. Tapi ini kan mengerikan juga bagi orang-orang,” kata Susori.

Opsi penggunaan burung hantu serak sulawesi (Tyto rosenbergii) muncul, setelah Baron Hermanto Kepala Desa Sumber Harjo membaca berita dalam jaringan di ponsel.

“Di Demak, Jawa Tengah, ternyata ada komunitas petani yang menggunakan burung hantu sebagai predator tikus, dan kepala desanya menjadi pionir,” jelasnya.

Baron kemudian melayangkan surat kepada manajemen JOB Pertamina-Medco E & P Tomori Sulawesi dan berdiskusi dengan Atma Agus Hermawan, Community Development Officer perusahaan itu. Perusahaan setuju mengirim Baron ke Demak untuk belajar selama sepekan di sana.

Sepulang dari Demak, Baron meminta kepada JOB Pertamina-Medco E & P Tomori Sulawesi untuk membangun tempat karantina dan rumah burung hantu. Ayah Baron, Subani, mendukung rencana itu dengan menghibahkan tanah berukuran 64 meter persegi sebagai lokasi karantina. Tempat karantina ini bukan untuk membudidayakan burung hantu, namun untuk merawat dan mengobati burung hantu yang sakit atau merawat anak burung hantu yang ditelantarkan sang induk.

JOB Pertamina-Medco E & P Tomori Sulawesi membangunkan 25 rumah burung hantu (rubuha) dengan menggunakan tiang kayu. Belakangan 25 rubuha dibangun lagi, kali ini dengan menggunakan tiang besi agar lebih awet.

Selain itu juga ada semacam tangkringan atau tempat bertengger di sawah. Pembuatan rumah dan tenggeran ini penting, karena burung hantu tidak bisa membuat sarang dan tak bisa bermanuver di udara sebelum menyergap mangsa. Rumah dan tenggeran di sawah akan menarik burung hantu untuk datang.

Namun pekerjaan rumah terberat Baron adalah meyakinkan masyarakat tentang pentingnya burung hantu dalam budidaya padi di desa. Selama ini burung hantu dianggap sebagai burung pembawa sial. Kehadirannya di sebuah tempat selalu diidentikkan dengan kabar duka. Ini yang kemudian membuat burung hantu ini selalu diusir dan bahkan jadi sasaran tembak warga jika terlihat di dekat pemukiman.

Baron berusaha keras meyakinkan masyarakat desa dalam setiap acara sosial seperti pengajian hingga rapat di balai desa. Ia juga berbicara dengan kepala desa-kepala desa di Kecamatan Moilong agar ikut melindungi burung hantu tersebut.

Ketidaksukaan warga terhadap burung hantu semakin besar karena burung itu masuk ke rumah budidaya sarang walet. Burung hantu tidak memangsa burung walet, namun merusak sarangnya. Pemerintah desa melakukan rapat dan muncul solusi untuk membuat pintu bagi rumah walet yang bisa dibuka saat pagi dan ditutup saat jelang magrib.

Melihat krusialnya perlindungan terhadap burung hantu, Baron memutuskan untuk membuat regulasi lokal. Ia berdiskusi dengan Badan Permusyawaratan Desa pada 2019 soal kemungkinan menerbitkan peraturan desa yang melindungi burung hantu. Hasilnya, BPD mendukung rencana tersebut. Pemerintah desa juga berkoordinasi dengan babinsa soal rencana pembuatan peraturan desa ini. Babinsa mendukung.

Akhirnya terbitlah peraturan desa yang melarang perburuan burung hantu. “Barang siapa yang menembak burung hantu dan merusak rumahnya akan dikenai hukuman lima tahun kurungan dan denda Rp 100 juta,” katanya.

Peraturan desa ini cukup efektif mendisplinkan warga Sumber Harjo. Namun kesadaran warga benar-benar muncul setelah ada salah satu warga yang memergoki burung hantu tengah menangkap dan memangsa tikus di sawah. Kabar ini beredar cepat, dan berhasil meyakinkan warga tentang pentingnya keberadaan burung ini.

Hasilnya pun tampak. Populasi burung hantu terlindungi. Bahkan warga sudah punya kesadaran untuk membawa burung hantu yang terluka atau terperangkap jaring ke tempat karantina yang dikelola masyarakat sendiri. “Sekarang warga sudah sayang juga kepada burung hantu. Kesadaran masyarakat ini jadi kebanggaan saya,” kata Baron.

Warga kini tak perlu memasang plastik untuk memagari sawah. Hama tikus yang biasa menyerang sejak masa tanam hingga padi bunting relatif sirna. Hasil panen padi pun membaik. Keberadaan pemangsa alami hama tikus ini juga mendukung program pertanian ramah lingkungan JOB Pertamina-Medco E & P Tomori Sulawesi, karena dengan demikian tak diperlukan racun kimia untuk membasmi hama.

Atma Agus Hermawan, Community Development Officer job tomori JOB Pertamina-Medco E & P Tomori Sulawesi mengatakan, pengembangan burung hantu sebagai predator alamiah tikus diawali dari assessment dan pengenalan kondisi sosial masyarakat. “Pak Kades sendiri menyosialisasikan kepada semua pihak. Itu penting. Kalau tidak semua pihak tahu, nanti ada yang membunuh dan menembak burung hantu,” kata dia.

Sementara itu, Agus Sudaryanto, Relation, Security and Cimmunity Development Manager JOB Pertamina-Medco E & P Tomori Sulawesi menegaskan, keinginan program pertanian ramah lingkungan atau agro ekologi memang tak hanya berorientasi hasil berupa komoditas, tapi juga keberlanjutan perubahan sistemik.

Penggunaan serak Sulawesi adalah salah satu tanda perubahan sistemik yang berkelanjutan. “Selain itu ada transformasi sosial pada sistem legal melalui Peraturan Desa mengenai Perlindungan Serak Sulawesi,” kata Sudaryanto.(faz/tin/den)

Berita Terkait

..
Potret NetterSelengkapnya

Kebakaran Pabrik Plastik di Kedamean Gresik

Kecelakaan Mobil Box di KM 12 Tol Waru-Gunungsari

Pipa PDAM Bocor, Lalu Lintas di Jalan Wonokromo Macet

Surabaya
Rabu, 25 September 2024
27o
Kurs