Sri Mulyani Indrawati Menteri Keuangan (Menkeu) menjelaskan, kebijakan kenaikan tarif Cukai Hasil Tembakau (CHT) rata-rata 12 persen per 1 Januari 2022 adalah satu di antara instrumen peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM).
Hal ini, kata dia, menjadi agenda krusial dalam upaya peningkatan produktivitas nasional.
“Presiden telah menyetujui dan sudah dilakukan rapat koordinasi di bawah Bapak Menko Perekonomian, kenaikan cukai rata-rata rokok adalah 12 persen. Tapi untuk Sigaret Kretek Tangan (SKT), Presiden meminta kenaikan 5 persen, jadi kita menetapkan 4,5 persen maksimum,” ujar Menkeu dalam keterangannya, Selasa (15/12/2021)
Menkeu menjelaskan pengenaan cukai ditujukan sebagai upaya pengendalian konsumsi sebagaimana diamanatkan Undang-Undang Cukai.
Kebijakan cukai juga mempertimbangkan dampak terhadap petani tembakau, pekerja, serta industri hasil tembakau secara keseluruhan.
“Kenaikan itu pun bukan hanya mempertimbangkan isu kesehatan, tetapi juga memperhatikan perlindungan buruh, petani, dan industri rokok,” katanya.
Dia menyebut, rokok menjadi pengeluaran kedua tertinggi masyarakat miskin di perkotaan dan pedesaan setelah konsumsi beras.
Dilihat dari total pengeluaran, konsumsi rokok mencapai 11,9 persen di perkotaan dan 11,24 persen di pedesaan.
Angka itu lebih rendah dari konsumsi beras dan bahkan lebih tinggi daripada pengeluaran untuk protein, seperti daging, telur, tempe, serta ikan.
“Sehingga rokok menjadikan masyarakat miskin. Harga sebungkus memang dibuat semakin tidak terjangkau bagi masyarakat miskin,” ujar Menkeu.
Dari sisi kesehatan, dia mengeklaim, rokok memicu risiko stunting pada anak dan bisa memperparah dampak kesehatan akibat Covid-19 atau 14 kali berisiko kena Covid-19 daripada bukan perokok.
Di samping menimbulkan kerugian jangka panjang bagi perekonomian, rokok juga berdampak langsung pada kenaikan biaya kesehatan.
“Ini membebani karena sebagian pasien Covid-19 ditanggung negara,” kata Menkeu.
Kebijakan CHT, kata dia, juga bertujuan untuk mengendalikan tingkat konsumsi rokok di masyarakat, khususnya di kalangan anak-anak dan remaja.
Dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024, Pemerintah menargetkan prevalensi merokok anak Indonesia usia 10-18 tahun turun minimal jadi 8,7 persen pada 2024.
“Kami mencoba menurunkan kembali prevalensi berdasarkan RPJMN untuk mencapai 8,7 turun dari 9,1 persen dari 2018,” kata Sri Mulyani.
Adapun, kenaikan tarif CHT itu nantinya akan turut mendukung program pembangunan nasional melalui penerimaan negara. Hal ini diundangkan dalam UU APBN 2022 sebesar Rp193 triliun.
Selain itu, kebijakan CHT juga penting sebagai mitigasi atas dampak kebijakan yang berpotensi mendorong rokok ilegal.
“Semakin tinggi harga, semakin besar potensi terjadinya produksi rokok ilegal,” kata Sri Mulyani.(den)