Jumat, 22 November 2024

Fenomena Berburu Konten Media Sosial Hilangkan Empati dan Rasionalitas

Laporan oleh Ika Suryani Syarief
Bagikan
Masyarakat yang berfoto di lokasi terdampak bencana APG Semeru. Foto: Sigit Aviyanto via Wa SS

Luluk Dwi Kumalasari Dosen Sosiologi Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) mengaku prihatin atas tingkah laku masyarakat yang datang ke lokasi terdampak bencana alan hanya untuk berfoto.

“Sudah hilang rasa empatinya, tidak memiliki rasionalitas untuk menempatkan diri di atas korban bencana,” ungkap Luluk saat mengudara bersama Radio Suara Surabaya, Minggu (12/12/2021).

Luluk menjelaskan, fenomena itu adalah dampak dari teknologi dan media sosial adalah munculnya keinginan eksistensi terus menerus.

“Karena soal eksistensi, orang jadi ingin terus mengekspos tanpa melihat apakah itu layak untuk dilihat publik,” tuturnya.

Menurutnya aksi tak berempati masyarakat di atas korban bencana juga mengganggu proses evakuasi korban yang belum ditemukan.

Tak hanya itu, masyarakat setempat juga mengaku kesal karena rumah-rumah mereka yang hancur dan terdampak dijadikan lokasi berfoto tanpa memikirkan perasaan duka yang dialami.

Menurut Luluk, masyarakat harusnya sadar akan hal itu, bahwa tidak seharusnya daerah terdampak bencana didatangi hanya untuk meramaikan media sosial pribadinya.

“Tujuannya tidak lagi memikirkan rasa kemanusiaan dan empati dengan orang lain, malah berpikir ini sedang ada kejadian, kalau saya ke sana mau foto dan video pasti banyak yang like, kepuasan mereka tumbuh dari situ,” kata Luluk.

Kata Luluk, tindakan semacam ini bukanlah jati diri Indonesia yang sesungguhnya. Identitas Indonesia yang berasaskan saling gotong royong dan berempati telah memudar.

“Edukasi tentang empati dan etika harus diajarkan kembali,” tutur Luluk.

Masyarakat perlu menerapkan sistem struktural fungsional untuk menumbuhkan kembali rasa empati dan etika.

“Ini adalah sistem yang ada di masyarakat, yang mana setiap elemen bisa berperan sesuai fungsionalnya, misalnya saya akademisi saya berfungsi untuk menumbuhkann nilai-nilai kemanusiaan di pendidikan,” ujarnya.

Persoalan empati yang sama tidak hanya dijumpai di lokasi terdampak awan panas guguran Gunung Semeru, tapi juga merambah ke lokasi pengungsian masyarakat.

Manda Roosa reporter suarasurabaya.net membagikan pengalamannya saat liputan di Desa Sumberwuluh, yang sekaligus menjadi posko terbesar.

Manda melaporkan kondisi pengungsian memang kebanjiran bala bantuan, namun setelah bantuan diberikan pihak penyumbang mereka meminta foto bersama dengan para pengungsi yang mengharuskan para pengungsi ini mengukir senyum palsu di depan kamera.

“Yang melakukan hal seperti itu tidak hanya satu atau dua saja, tapi banyak. Itulah yang membuat para pengungsi itu sebenarnya enggan, bahkan ada seseorang yang sampai membawa kru dan kemeramen tapi ternayata mereka hanya bikin konten,” kata Manda.

Selain di titik pengungsian Sumberwuluh, Manda juga membagikan cerita ke titik pengungsian arah utara dari Desa Sumberwuluh yaitu Balai Desa Penanggal.

“Banyak orang yang mengambil foto di sana, bahkan ada seorang anak yang menutup wajahnya. Anak itu sempat berkata ‘ngapain ambil foto saya, saya ini kehilangan rumah’ sampai seperti itu,” jelas Manda.

Manda berharap orang-orang yang memberikan bantuan ke korban terdampak bencana dapat lebih berempati saat ingin mengdokumentasikan gerakan sosialnya.(wld/iss)

 

 

 

 

Berita Terkait

Surabaya
Jumat, 22 November 2024
31o
Kurs