Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyetujui Rancangan Undang-Undang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (RUU HKPD), untuk disahkan menjadi UU dalam Rapat Paripurna DPR Ke-10 Masa Persidangan II Tahun Sidang 2021-2022 di Jakarta, Selasa (7/12/2021).
RUU HKPD merupakan upaya penguatan desentralisasi fiskal dengan mendorong pengalokasian sumber daya nasional secara efektif dan efisien, melalui Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah yang transparan, akuntabel dan berkeadilan.
RUU HKPD yang yang disetujui DPR menjadi UU ini mewujudkan pemerataan kesejahteraan masyarakat, dan menjadi bagian dari agenda reformasi di bidang fiskal dan struktural untuk mencapai Indonesia Maju 2045.
Hal ini disampaikan Sri Mulyani Indrawati Menteri Keuangan dalam pidatonya mewakili pemerintah dalam sidang paripurna, setelah pimpinan DPR mengetok palu persetujuan RUU HKPD disahkan menjadi UU.
“Kami meyakini bahwa proses pembahasan yang sangat baik ini akan menjadikan RUU HKPD sebagai komponen penting dalam reformasi fiskal, terutama dalam menuju sistem hubungan keuangan antara pusat dan daerah yang adil, selaras, efektif, efisien dan akuntabel,” ujar Sri Mulyani.
Kata Menkeu, berbagai perbaikan yang dilakukan dalam RUU HKPD ini dilatarbelakangi oleh hasil evaluasi atas pelaksanaan desentralisasi fiskal yang belum optimal, seperti peningkatan alokasi Transfer Keuangan dan Dana Desa (TKDD) yang belum sepenuhnya dimanfaatkan secara optimal oleh Daerah.
Hal ini dapat dilihat dari pemanfaatan Dana Alokasi Umum (DAU) yang masih didominasi belanja pegawai dan Dana Alokasi Khusus (DAK) yang menjadi satu di antara sumber utama belanja modal di daerah dan masih minimnya kemampuan daerah dalam mengoptimalkan Pendapatan Asli Daerah (PAD), di mana selama tiga tahun terakhir, porsi PAD terhadap APBD masih di kisaran 24,7 persen.
Kata Sri Mulyani, hasil evaluasi atas pelaksanaan desentralisasi fiskal yang belum optimal selanjutnya adalah masih adanya belanja daerah yang belum fokus dan efisien, di mana terdapat 29.623 jenis program dan 263.135 jenis kegiatan serta pola eksekusi APBD yang masih business as usual.
Selain itu juga selalu tertumpu di triwulan IV sehingga mendorong adanya idle cash di daerah, pemanfaatan pembiayaan daerah yang terbatas, sehingga membatasi akselerasi pembangunan di daerah, dan sinergi dan gerak langkah kebijakan APBN dan APBD masih belum berjalan maksimal, sehingga perlu terus diperkuat untuk dapat menjaga kesinambungan fiskal.
Menkeu menyebut bahwa hal-hal tersebut telah berdampak pada capaian output dan outcome pembangunan yang belum optimal dan timpang di daerah, seperti capaian Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang rentangnya antara 86,6 di Kota Yogyakarta dengan 31,5 di Kabupaten Nduga.
Oleh karena itu, diperlukan kebijakan baru yang berorientasi pada kinerja dan kapasitas daerah dalam meningkatkan pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat melalui sinergi dan kolaborasi mendukung target pembangunan nasional.
Untuk itu, Sri Mulyani mengatakan bahwa RUU HKPD didesain dengan upaya reformasi secara menyeluruh, tidak hanya dari sisi fiscal resource allocation seperti pemberian kewenangan pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah, transfer ke daerah, dan pembiayaan, melainkan juga memperkuat sisi belanja daerah agar lebih efisien, fokus, dan sinergis dengan Pemerintah Pusat.
“Hal ini semata-mata guna mewujudkan pemerataan layanan publik dan kesejahteraan masyarakat. Berdasarkan hal tersebut, maka patut dipahami bersama bahwa kebijakan yang diusung dalam RUU HKPD ini merupakan ikhtiar bersama dalam peningkatan kualitas pelaksanaan desentralisasi fiskal di Indonesia,” pungkas Menkeu.(faz/dfn/ipg)