Jumat, 22 November 2024

Penanganan HIV/AIDS di Indonesia Bermasalah Karena Pemahaman yang Keliru

Laporan oleh Agung Hari Baskoro
Bagikan
Wahyu Kurniawan Fasilitator HIV/AIDS Komisi Penanggulangan Aids (KPA) Provinsi Jawa Timur. Foto: Baskoro suarasurabaya.net

Sejak pertama kali kasus HIV/AIDS ditemukan di Bali, Indonesia pada tahun 1987, penanganan HIV/AIDS masih seringkali bermasalah karena pemahaman masyarakat yang keliru. Wahyu Kurniawan Fasilitator HIV/AIDS Komisi Penanggulangan Aids (KPA) Provinsi Jawa Timur mengatakan, pemahaman yang keliru berdampak besar pada penanganan yang tidak tepat sasaran.

Ia mencontohkan, HIV/AIDS oleh masyarakat sering dijadikan momok untuk menakut-nakuti orang agar tidak berperilaku berisiko. Mereka juga menjadikan angka kasus HIV/AIDS sebagai pemicu efek jera. Bagi Wahyu, hal ini tidak akan berdampak pada perubahan perilaku karena sifatnya hanya menakut-nakuti.

Persoalan lain, masyarakat Indonesia masih memiliki stigma yang terus dijaga yaitu mengaitkan Orang dengan HIV/AIDS (ODHA) dengan moralitas.

“Ketika melihat ODHA langsung, oh moralnya gak bagus ya, suka zina ya, pendosa besar ya,” kata Wahyu ketika menjadi pembicara di Talkshow World Aids Day di Universitas Bhayangkara, Surabaya, pada Minggu (9/12/2018).

Orang lain dengan mudah melakukan stempel negatif pada ODHA dan menyatakan diri sendiri orang palinh suci. Padahal, tidak semua penderita HIV/AIDS mendapatkan penyakit tersebut lewat perbuatan buruk. Ini dianggap Wahyu makin membuat ODHA terpinggir dari masyarakat. Orang-orang “sakit” ini malah diusir dan dikucilkan karena dianggap menyimpang.

Orang indonesia juga masih sangat rendah kesadaran penggunaan kondom ketika berhubungan intim. Rata-rata masyarakat Indonesia masih malu ketika membeli kondom di toko.

“Harusnya kampanye kesadaran penggunaan kondom makin banyak. Orang beli jadi malu karena kurangnya kesadaran,” katanya.

Ia juga menepis anggapan bahwa kampanye kesadaran penggunaan kondom bisa meningkatkan praktik seks bebas di Indonesia. Ia menyebut, tidak mungkin hanya dengan sadae fungsi kondom, seks bebas otomatis meningkat.

Menghilangkan lokalisasi juga dianggap kesalahan dalam penanganan HIV/AIDS. Menurutnya, hilangnya lokalisasi hanya akan menambah prostitusi gelap yang tidak terkontrol. Anggapan menghilangkan lokalisasi berarti menghilangkan prostitusi dikatakannya salah.

“Ada supply dan demand. Peminatnya masih banyak, maka yang menyediakan jasa (prostitusi, red) juga pasti banyak. Tidak akan hilang hanya dengan menutup lokalisasi,” ujar Wahyu.

Kesalahan lain yaitu menganggap kasus HIV/AIDS dengan kasus epidemik lain seperti Demam Berdarah dan Flu Burung yang bisa dilokalisir.

“Karena kasus HIV/AIDS itu soal perilaku. Bukan penyebaran lewat udara seperti penyakit epidemik, misalkan,” katanya.

Terakhir, masyarakat Indonesia masih memiliki pandangan seksualitas yang hipokrit. Mereka melakukan hubungan seksualitas tapi tabu untuk membahasnya dalam pendidikan kesehatan reproduksi.

“Akhirnya (pemerintah, red) tidak segera memberlakukan pendidikan kesehatan reproduksi dalam kurikulum pendidikan,” pungkasnya. (bas/iss)

Berita Terkait

Surabaya
Jumat, 22 November 2024
29o
Kurs