Sabtu, 23 November 2024

Pengamat: MPR Vs Menkeu Konflik Atasan dengan Atasan, Mengabaikan Rakyat

Laporan oleh Agustina Suminar
Bagikan

Perdebatan antara MPR dan Sri Mulyani Indrawati Menteri Keuangan (Menkeu) sempat memanas selama beberapa waktu terakhir. Fadel Muhammad Wakil Ketua MPR menganggap Menkeu tidak memperhatikan kebutuhan anggaran MPR, pascakeputusan pemotongan anggaran untuk refocusing anggaran penanganan pandemi Covid-19.

Selain masalah anggaran, Fadel juga menyampaikan kekecewaan karena Sri Mulyani tidak hadir dalam undangan rapat membahas anggaran MPR. Konflik itu berujung dengan MPR meminta kepada Joko Widodo Presiden memberhentikan Sri Mulyani sebagai Menteri Keuangan.

Suko Widodo Pengamat Komunikasi Politik mengatakan, perselisihan yang terjadi antara MPR dan Menkeu adalah konflik pejabat negara yang seharusnya tidak terjadi. Apalagi, konflik tersebut dalam konteks tidak sedang membahas kepentingan rakyat.

“Ini kan konfliknya atasan dengan atasan, bukan memperbincangkan rakyat dan kesulitan mereka mencari penghidupan. Kalau perdebatan mengenai rakyat, saya salut. Kalau perkaranya uang, itu terlalu remeh temeh,” kata pria yang juga Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Airlangga (Unair) itu kepada Radio Suara Surabaya, Jumat (3/12/2021).

Suko menyoroti, ada dua hal penting yang muncul dalam konflik ini. Pertama, ketidakhadiran Sri Mulyani Menkeu dalam rapat pembahasan anggaran MPR memang tindakan yang tidak etis.

Ia mengatakan, perlu untuk mencari tahu apa alasan Menkeu tidak hadir dalam rapat pembahasan anggaran MPR. Ia menduga, bisa jadi Sri Mulyani sudah menduga akan terjadi konflik jika dalam rapat tersebut diputuskan adanya pemotongan anggaran.

Namun, hal itu bukan berarti tidak hadir dalam undangan MPR adalah tindakan etis.

“Yang sering terjadi, menteri yang dipanggil (diundang) itu seperti ‘diajar’. Boleh jadi, mungkin, Ibu Sri Mulyani sudah tahu akan ada konflik besar. Maka kita perlu tahu benar alasannya apa, karena tidak etis juga dipanggil MPR tidak datang,” kata Suko.

Kedua, bukan wewenang MPR untuk meminta agar Menteri diberhentikan.

“MPR tidak ada wewenang terhadap usulan itu. Kalau minta agar memecat Sri Mulyani, berarti MPR tidak percaya dengan Presiden. Karena menteri adalah pembantu presiden yang dipercaya,” tanggapnya.

Ia juga melihat, konflik yang berujung usulan MPR agar Sri Mulyani dipecat sebagai Menteri Keuangan bukan semata-mata karena masalah anggaran. Namun konflik yang bermuatan politis.

Karena usulan itu menandakan MPR sebagai lembaga tidak percaya dengan pemerintah pusat. Mengingat, saat ini sudah mulai mendekati pemilu, yang mana gejolak politik bermunculan.

“Ada komunikasi politik yang tidak bagus. Apakah gejolak ini muncul karena ada election? Biasanya kalau mau election gesekan-gesekan akan terjadi,” papar Suko.

Ia menambahkan, “Apalagi banyak (kepala daerah) berhenti (habis masa jabatan) di 2023 dan akan ada kekosongan kememimpinan. Kita dalam legasi politik yang tidak beraturan”.

Jika memang ada kepentingan politik dalam konflik ini, Suko merasa aneh jika alasan yang digunakan MPR adalah karena anggaran. Karena hal itu hanya akan membuat rakyat merasa marah terhadap MPR yang dianggap tidak mau dipotong anggarannya.

Untuk itu, ia mengingatkan para anggota partai politik (parpol) yang menjabat di lembaga perwakilan rakyat, untuk lebih berhati-hati dalam mengeluarkan pernyataan di media. Jangan sampai rakyat menjadi tidak percaya dan berimbas pada konflik sosial dan politik.

“Hati-hati parpol karena bisa kecele dan ganti ditipu rakyat. Kalau rakyat mengelabuhi parpol, sepertinya dianggap memilih padahal tidak, berarti rakyat merasa tidak mendapatkan tempat. Ada distrust (ketidakpercayaan) kepada parpol,” ungkapnya.(tin/ipg)

Berita Terkait

Surabaya
Sabtu, 23 November 2024
26o
Kurs