Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menerima aduan dari Tim Advokasi Perjuangan Rakyat Kalimantan Selatan Melawan Oligarki terkait insiden penganiayaan hingga menewaskan seorang advokat di Kalimantan Selatan perihal tambang batu bara bernama Jurkani.
“Komnas HAM telah diberi informasi tambahan baik itu foto maupun video dan akan kami dalami,” kata Mohammad Choirul Anam Komisi Pemantauan dan Penyelidikan Komnas HAM, Rabu (24/11/2021).
Menurut Anam, yang menjadi kejanggalan adalah kasus tersebut terjadi di tempat dan latar belakang yang terang benderang.
Dari penjelasan dan keterangan yang didapati oleh Komnas HAM terkait dengan pelaku yang mengaku membacok Jurkani dalam keadaan mabuk atau karena pengaruh alkohol, agak sulit diterima dengan akal sehat.
Akan tetapi, saat ini Komnas HAM belum bisa memastikan atas kasus yang dilaporkan. Lembaga itu terlebih dahulu mempelajari dan mendalami lebih jauh sehubungan dengan meninggalnya Jurkani seorang advokat di Kalsel.
Pada kesempatan itu, Komnas HAM meminta aparat kepolisian terbuka dan transparan dalam menangani kasus tersebut. Ke depan, jika kasus itu tidak bisa diselesaikan di tingkat lokal atau berhenti, maka akan dilanjutkan ke Mabes Polri.
Sementara itu, M. Raziv Barokah perwakilan dari Tim Advokasi Jurkani mengatakan bahwa kasus tersebut bermula saat Jurkani berupaya mengadvokasi tambang ilegal batu bara di Kalsel
Dari proses hukum yang sedang berlangsung di Polres setempat, pelaku mengaku adanya kesalahpahaman sehingga terjadi pembacokan terhadap korban.
“Kami ingin sampaikan bahwa dalil tersebut tidak logis dan tidak benar,” kata M. Raziv seperti dikutip dari Antara.
Yang sebenarnya terjadi kata M. Razif ialah korban dicegat setelah temukan adanya alat berat di lokasi tambang ilegal.
Ketika di perjalanan, mobil yang dikendarai korban dihadang oleh sejumlah orang dan terjadilah penganiayaan yang berujung pada kematian.
“Perlu digarisbawahi, jangan sampai kasus tersebut hanya selesai setelah pelaku lapangan ditangkap,” kata Tim Advokasi Jurkani itu.
“Padahal sesuai fakta, terdapat sekitar 20 hingga 30 orang yang mengepung Jurkani. Namun, hanya dua orang yang mengeksekusi,” imbuh M. Razif.
Dari kejadian itu, dia berpendapat bahwa hal tersebut bukan salah paham, melainkan sebagai bentuk pembungkaman dengan kekerasan hingga hilangnya nyawa korban.
“Kami meminta kehadiran negara untuk mencari aktor intelektual di balik kasus ini,” tegasnya. (ant/wld/tin)