Sabtu, 23 November 2024

HNW Dukung Eksistensi MUI dan Menolak Terorisme

Laporan oleh Farid Kusuma
Bagikan
Hidayat Nur Wahid Wakil Ketua MPR-RI. Foto: Humas MPR RI

Hidayat Nur Wahid Wakil Ketua MPR-RI, menegaskan dukungannya terhadap pemberantasan terorisme. Dia juga menolak teror berbentuk framing yang dijadikan trending topic oleh sebagian kalangan untuk membubarkan Majelis Ulama Indonesia (MUI).

Framing pembubaran MUI muncul pascapenangkapan Zain An-Najah Pimpinan MUI oleh Densus 88, atas dugaan terlibat kasus terorisme.

“MUI adalah organisasi legal dan formal. Organisasi itu berdiri sejak 26 Juli 1975, menjadi wadah musyawarah para ulama, zuama, dan cendekiawan muslim se-Indonesia, baik individual maupun yang terhimpun dalam ormas-ormas keagamaan Islam,” ujarnya di Jakarta, Kamis (18/11/2021).

Orang-orang yang tergabung dalam MUI, lanjut HNW, memiliki semangat Islam Wasathiyah (moderat), Ukhuwah Islamiyah dan Ukhuwah Wathaniyah.

Maka dari itu, sikap kebangsaan MUI selama ini juga sangat jelas yaitu mendorong Islam Wasathiyah (moderat) dan kerukunan antar umat beragama, serta menolak ideologi radikalisme, aksi islamophobia, terorisme, komunisme, hingga separatisme.

“MUI merupakan salah satu ikon Islam moderat di Indonesia. Organisasi itu diketuai pimpinan-pimpinan ormas yang sangat dikenal moderasinya dan teruji jasanya bagi perjuangan Indonesia Merdeka. Seperti Muhammadiyah, dan Nahdlatul Ulama,” paparnya.

Hidayat mengingatkan, umat Islam dan megara waspada terhadap gerakan yang menunggangi isu terorisme dengan penangkapan terhadap salah satu anggota pimpinan MUI.

“Di tengah kekhawatiran bangkitnya komunisme gaya baru, seks bebas di perguruan tinggi akibat Permendikbud, terorisme KKB Papua, yang semuanya ditolak MUI, maka wacana untuk bubarkan MUI jadi layak dikritisi dan diwaspadai, sebagai gerakan yang menunggangi isu terorisme untuk membentuk teror yang lain. Yaitu membubarkan MUI,” imbuhnya.

Kalau benar terjadi, itu merupakan agenda Islamophobia dan pelecehan lembaga keagamaan termasuk yang Islam moderat.

Apabila upaya itu berhasil membubarkan MUI sebagai lembaga berkumpulnya ormas-ormas Islam moderat, atau minimal mengopinikan/memframing, maka akan menyebar saling curiga dan tidak percaya.

Bahkan, bisa tercerai-berai umat Islam dan dapat meningkatkan potensi adu domba. Sehingga, memperlebar ketidak harmonisan dan pembelahan sesama anak bangsa, yang akhirnya akan melemahkan sendi-sendi NKRI.

Masyarakat beragama, khususnya umat Islam, menurut Hidayat merasakan manfaat riil kehadiran MUI dalam urusan moderasi beragama di Indonesia dan penguatan NKRI.

Terkait penangkapan Dr. Zain an Najah selaku anggota Komisi Fatwa MUI yang karena kasus itu dinonaktifkan oleh MUI, maka MUI telah bersikap jelas dengan menegaskan bahwa MUI menolak terorisme dan mendukung pemberantasan terorisme.

Kasus penangkapan itu tidak terkait dengan organisasi/lembaga MUI, dan menyerahkan proses hukum kepada aparat, dengan mengingatkan agar tetap mengedepankan asas praduga tak bersalah, dan memenuhi prinsip keadilan dan pemberian hak-hak untuk tersangka.

“Peringatan ini semestinya juga ditujukan kepada Densus 88 terkait kasus dugaan keterlibatan dengan terorisme yang disangkakan terhadap Ustaz Farid Okbah. Selain itu, sangat baik kalau MUI selain imbauannya agar masyarakat tidak terprovokasi, tetap menjaga kerukunan antar umat beragama, dan kemaslahatan umum. Juga mengkritisi kinerja dari Densus 88, agar betul-betul profesional, adil dan tak tebang pilih,” katanya.

HNW juga mengingatkan, kalau kasus individu (oknum) dihubungkan dengan tuntutan pembubaran organisasi (MUI), lantas generalisasi itu diperbolehkan dan diberlakukan tanpa tebang pilih, maka tidak ada lembaga apa pun termasuk lembaga negara seperti Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Agung, hingga Kabinet Presiden Jokowi, DPR, DPD, KPK termasuk Parpol bahkan Kepolisian, yang luput dari kasus yang terjadi dengan “oknum” anggota/pimpinannya.

“Untuk setiap kasus individual tersebut, maka yang terjadi adalah oknum yang terlibat ditegakkan ketentuan hukum, tapi tidak ada yang menuntut lembaganya dibubarkan,” tegasnya.

Kesalahan yang disangkakan kepada individual, tidak boleh diubah menjadi kesalahan organisasional. Apalagi organisasi sudah tegas menyampaikan sikapnya yang menolak terorisme dan mendukung pemberantasan terorisme.

“Mestinya Densus 88 bersikap profesional dan adil, tanpa pandang bulu memberantas teror dan terorisme yang secara terbuka telah lama dideklarasikan oleh KKB Papua. Kelompok itu oleh Menkopolhukam sejak April 2021 dinyatakan sebagai organisasi Teroris. Apalagi akibat terornya KKB Papua sudah banyak korban berjatuhan dari kalangan TNI, Polri, Nakes, masyarakat sipil, sarana publik. Tapi, malah tak terdengar Densus 88 mengatasi terorisme KKB Papua yang jelas-jelas melakukan aksi teror, bahkan menantang perang dan aksi-aksi lain yang membahayakan keutuhan kedaulatan NKRI,” katanya.

Kalau hal seperti ity berlanjut, perasaan diberlakukan tidak adil makin menyeruak karena keadilan hukum tidak ditegakkan, maka yang akan dirasakan oleh Umat adalah benar adanya Islamophobia, dan itu meresahkan serta tidak menguntungkan bagi penguatan kesatuan berbangsa dan bernegara untuk kokoh kuatnya NKRI, suatu hal yang mestinya dihindari oleh Densus 88 dan oleh Pemerintah.

“Seharusnya Densus 88 dan Pemerintah tidak membiarkan teror terhadap MUI dengan wacana pembubaran MUI, karena itu tidak membantu mengatasi terorisme, justru memperlemah kohesi dalam NKRI,” pungkasnya.(rid/dfn/ipg)

Berita Terkait

Surabaya
Sabtu, 23 November 2024
26o
Kurs