Sabtu, 23 November 2024

Kampus Darurat Kekerasan Seksual, Akademisi Jelaskan Pentingnya Permendikbud 30

Laporan oleh Agustina Suminar
Bagikan
Siaran langsung program KelaSS Pintar di Instagram @suarasurabayamedia pada Rabu (17/11/2021) dengan Wiwik Afifah Dosen Fakultas Hukum Untag Surabaya sebagai narasumber dan Fitriana Ayu sebagai host. Foto: Tina suarasurabaya.net

Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbud Ristek) Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) yang sudah disahkan masih ramai diperbincangkan.

Pro dan kontra terus bermunculan, meski peraturan tersebut sudah diteken oleh Menteri Nadiem Anwar Makarim pada 31 Agustus 2021 lalu.

Wiwik Afifah Dosen Fakultas Hukum Untag Surabaya menegaskan, bahwa Permendikbud Ristek Nomor 30 Tahun 2021 atau akrab disebut Permendikbud 30, merupakan aturan yang diterapkan yang hanya diberlakukan di lingkungan kampus, bukan kepada masyarakat secara umum seperti rancangan undang-undang penghapusan kekerasan seksual (RUU PKS).

Meski kontroversi bermunculan, namun Wiwik mengatakan masyarakat optimis dengan disahkannya aturan ini, ada jaminan perlindungan pada korban kekerasan seksual.

“Saya melihat respon masyarakat suka cita ya menyambut Permendikbud ini, karena ada jaminan. Dulu belum tentu ada. Jadi jangan takut lagi untuk speak up,” kata Wiwik saat menjadi narasumber live Instagram KelaSS Pintar pada Rabu (17/11/2021).

Dalam perbicangan yang disiarkan langsung di Instagram @suarasurabayamedia, ia juga menjelaskan poin-poin penting yang menjadi alasan mengapa Permendikbud 30 penting bagi pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di lingkup perguruan tinggi.

Kampus Darurat Kekerasan Seksual

Wiwik mengatakan, kampus sebagai tempat mahasiswa dan mahasiswi belajar, nyatanya menjadi tempat paling rawan nomor tiga atas kekerasan seksual. Hal ini berdasarkan survei yang dilakukan Kemendikbud Ristek.

Dalam survei yang dilakukan Kemendikbud Ristek pada 2020 tentang kasus kekerasan seksual, hasilnya 77 persen dosen yang disurvei mengakui adanya bahwa ada kejadian kekerasan seksual di kampus dan 63 persen di antaranya tidak berani melapor karena takut.

Belum lagi dengan data yang dikeluarkan oleh Komnas Perempuan sepanjang 2015-2020 yang menunjukkan secara keseluruhan pengaduan kekerasan seksual di lingkungan pendidikan, sebanyak 27 di antaranya terjadi di kampus.

Bahkan survei yang dilakukan Koalisi Ruang Publik Aman menunjukkan sekolah maupun kampus menduduki urutan ketiga sebagai lokasi terbanyak terjadinya kekerasan seksual.

“Permendikbud 30 ini penting karena kondisi kampus sudah darurat kekerasan seksual. Bukan hanya kasusnya yang bertambah, tapi jenisnya semakin beragam. Dulu siul-siul, pegang-pegang, sekarang berani minta cium hingga pemerkosaan,” paparnya.

Wiwik menambahkan, sebenarnya kasus kekerasan seksual terjadi sejak lama. Namun, para korban enggan untuk mengadukannya karena mayoritas para korban tidak memiliki “bargaining position” yang sama dengan pelaku.

Atau, korban juga takut melapor karena ada intervensi hingga ancaman dari pihak lain, jika kasus kekerasan seksual dilaporkan, maka korban akan dianggap bisa mencemarkan nama baik kampus.

Ia juga menegaskan, bahwa yang berpotensi menjadi korban tidak hanya mahasiswa, namun juga bisa terjadi kepada dosen baik relasi dosen dengan mahasiswa, mahasiswa dengan mahsiswa, maupun dosen dengan dosen.

Kontroversi Unsur “Concent” dan Tidak “Concent

Salah satu poin Permendikbud 30 yang memicu kontroversi dan sempat mendapat penolakan dari beberapa kalangan adalah unsur “consent” atau unsur persetujuan. Salah satu contohnya, seperti dalam pasal 5 ayat 2 poin l: “menyentuh, mengusap, meraba, memegang, memeluk, mencium dan/atau menggosokkan bagian tubuhnya pada tubuh Korban tanpa persetujuan Korban”.

Beberapa kalangan berasumsi, bahwa jika hal itu mendapat persetujuan korban, maka itu boleh dilakukan. Maka, munculah beberapa penolakan terhadap Permendikbud 30 karena dianggap melegalkan zina.

Hal itu kemudian dibantah oleh Wiwik. Ia menjelaskan, aturan Permendikbud 30 ingin menegaskan adanya unsur pemaksaan yang menjadi dasar dari kasus kekerasan seksual. Karena dalam hal pemaksaan, sudah pasti itu dilakukan tanpa persetujuan korban.

Ia menyontohkan seperti ini, “Misal mau pinjam barang, kita kan ngomong sama yang punya. Kalau nggak ngomong, berarti kan mencuri. Begitu juga dalam hal kekerasan seksual. Kadang bentuknya mengagetkan seperti menyerang, merangkul dari belakang, meraba payudara dari depan. Juga ada kondisi yang menempatkan korban takut sehingga tidak memiliki pilihan sehingga dianggap mau”.

Ia juga menegaskan bahwa di Indonesia juga menggunakan sistem Civil Law, artinya menggunakan pembagian dasar ke dalam hukum perdata dan hukum publik.

Permendikbud menggolongkan hubungan seksual tanpa persetujuan korban adalah kekerasan seksual. Namun bukan berarti, melakukan hubungan seksual di kampus diperbolehkan. Karena hal itu berdasarkan hukum publik sudah tidak terbolehkan.

“Soal unsur concent yang diperdebatkan, ‘kalau korban setuju, berarti boleh?’ ya, tidak boleh. Sistem hukum kita Civil Law. Kalau nggak diatur secara tertulis bukan berarti boleh,” tegasnya.

Pembentukan Satgas dan Rentetan Tugasnya

Dalam Bab IV Permendikbud Ristek Nomor 30 ditegaskan bahwa di setiap kampus harus membentuk Satuan Tugas (Satgas) khusus untuk menangani kasus kekerasan seksual di kampus.

Dalam pasal 23 tertulis: “(1) Dalam pelaksanaan Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual, Pemimpin Perguruan Tinggi membentuk Satuan Tugas di tingkat Perguruan Tinggi. (2) Satuan Tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibentuk pertama kali melalui panitia seleksi.”

Pasal 24 menyebutkan, anggota panitia seleksi harus terdiri dari unsur pendidik, tenaga pendidikan dan mahasiswa. Mereka juga harus memiliki memiliki pengalaman di bidang kekerasan seksual seperti pernah mendampingi korban kekerasan seksual, melakukan kajian tentang kekerasan seksual dan gender, hingga terbukti tidak pernah melakukan kekerasan seksual.

Menurut Wiwik, pembentukan Satgas Kekerasa Seksual di kampus merupakan langkah yang baik, agar korban memiliki tempat pengaduan sekaligus mendapatkan perlindungan pascapelaporan tersebut.

Satgas juga tidak hanya menjadi wadah konseling bagi para korban, namun juga memberikan rujukan penyelesaian kasus.

Misalnya, dalam Permendikbud 30 mengatur bagaimana Satgas memiliki wewenang untuk memberikan rekomendasi hukuman administratif bagi pelaku. Namun, jika kasus kekerasan seksual memiliki unsur pidana, maka Satgas bisa memberikan rujukan kepada pihak kepolisian untuk menangani kasus tersebut.

Begitu juga memberikan rujukan kepada biro atau lembaga bantuan hukum hingga ke psikolog untuk pemulihan korban.

“Misal perguruan tinggi belum memiliki kesiapan, maka Satgas bisa melakukan rujukan baik ke lembaga yang lebih kompeten meskipun itu di luar kampus, termasuk melimpahkannya ke kepolisian, Jadi tidak hanya memberikan konseling,” tambahnya.

Agar korban tidak takut melapor, Satgas juga memberikan jaminan perlindungan terhadap identitas korban maupun saksi dalam kode etik. Termasuk perlidungan dari ancaman dan jaminan hak-hak pendidikannya.

Dalam pasal 36 ayat 3 tertulis: “Kode Etik merupakan integrasi dari nilai yang meliputi: a. menjamin kerahasiaan identitas pihak yang terkait langsung dengan laporan; b. menjamin keamanan Korban, saksi, dan/atau pelapor; dan c. menjaga independensi dan kredibilitas Satuan Tugas.”

Selain melakukan penanganan kasus kekerasan seksual, dalam Permendikbud 30 juga diatur bagaimana kampus melakukan upaya pencegahan dengan cara memberikan sosialisasi secara menyeluruh baik pendidik, tenaga pendidik, mahasiswa, maupun warga kampus.

“Misal sosialisasi itu dimasukkan ke mata kuliah dalam bentuk kampanye atau edukasi. Lalu membiasakan untuk berkomunikasi terkait kekerasan seksual. Kampus bisa mengkreasikan itu,” ujarnya.(tin/rst)

Berita Terkait

Surabaya
Sabtu, 23 November 2024
26o
Kurs