Bambang Soesatyo Ketua MPR RI menyatakan, penegak hukum harus mampu mencegah praktik pencucian uang dalam penyelenggaraan jasa layanan pinjaman online (pinjol) yang marak di dalam negeri.
Menurutnya, tidak boleh ada lagi ruang gerak bagi pinjol ilegal. Sumber dana penyelenggara pinjol legal juga harus dipastikan bersih dari kemungkinan tindak pidana.
Bamsoet mengambil contoh kasus, Selasa (9/11/2021) lalu, Bareskrim Polri menangkap seorang warga negara Tiongkok berinsial WJS di Bandara Soekarno-Hatta.
WJS terindikasi sebagai bos besar yang menyelenggarakan jasa layanan Pinjol ilegal.
Di Wonogiri, Jawa Tengah, manajemen Pinjol ilegal yang dikendalikan WJS meneror nasabah ketika menagih pinjaman.
Karena tidakk tahan dengan teror yang tak berkesudahan itu, seorang ibu rumah tangga yang menjadi nasabah pinjol ilegal kelompok WJS memilih mengakhiri hidupnya.
“Memang, tak terbantahkan masyarakat butuh model layanan Pinjol yang prosesnya sederhana dan cepat. Namun, kebutuhan masyarakat akan layanan Pinjol harus tetap dilindungi oleh negara. Jangan sampai pasar yang terbentuk dari kebutuhan layanan Pinjol itu disusupi oleh pelaku kejahatan kerah putih (white collar crime) yang mempraktikkan perilaku brutal ala mafia,” ujarnya di Jakarta, Senin (15/11/2021).
Kalau manajemen penyelenggara pinjol berperilaku brutal dengan meneror nasabah saat menagih, lanjut Bamsoet, latar belakang mereka patut diselidiki, termasuk sumber atau asal muasal dana yang mereka tawarkan kepada calon nasabahnya.
Mengacu pada peristiwa tragis yang menimpa ibu rumah tangga di Wonogiri itu, sensitivitas Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan semua institusi penegak hukum harus ditingkatkan.
“OJK dan penegak hukum harus peduli pada sumber dana penyelenggara Pinjol. Kejelasan sumber dana Pinjol sangat penting untuk memastikan dana-dana itu bukan berasal dari tindak pidana. Kebutuhan dan pasar layanan Pinjol di dalam negeri tidak boleh dijadikan atau dimanfaatkan sebagai ladang pencucian uang,” tegasnya.
Pinjol atau Fintech peer to peer (P2P) lending bukan ancaman bagi industri perbankan. Sebaliknya, kehadiran Pinjol relevan untuk mengisi ceruk yang tidak terlayani bank, yakni layanan kredit mikro.
Dengan keunggulan penyelenggara P2P lending di bidang teknologi dan penetrasi pasar yang berani, perbankan dan pinjol idealnya bisa bersinergi. Dari sinergi itu, keuntungan tidak saja dinikmati kedua belah pihak, melainkan kelompok nasabah yang butuh kredit mikro juga diuntungkan.
Bank memiliki modal besar dengan tata kelola risiko yang lebih baik. Maka, untuk memenuhi dan memperkuat permodalan, penyelenggara Pinjol bisa menjalin kerja sama dengan bank. Bisa dengan pendekatan akuisisi atau suntikan modal.
“Tapi, ketika sinergi bank-Pinjol tidak terwujud, muncul pertanyaan dari mana Pinjol mendapatkan modal? Pertanyaan ini, atau lebih tepatnya kecurigaan tersebut, lambat laun mulai terbuka ketika polisi menindak sejumlah Pinjol illegal dan menangkap sejumlah orang asing sebagai pemilik modal. OJK mencium adanya motif lain di luar meraup keuntungan dari praktik ilegal P2P lending. Motif lain itu mengarah pada kemungkinan pencucian uang dari luar negeri,” imbuhnya.
Dalam perang melawan pinjol ilegal, pemerintah dan OJK menerapkan pasal berlapis, perdata maupun pidana. Para pelaku Pinjol ilegal dikenakan ancaman hukuman atas tindakan pemerasan, perbuatan tidak menyenangkan, UU ITE, dan perlindungan konsumen.
Dari aspek perdata, Pinjol ilegal tidak memenuhi unsur perjanjian sesuai Pasal 13 KUP (Kitab Undang-Undang) Perdata.
“KUP Perdata menegaskan, pinjaman uang dilakukan dengan syarat adanya perjanjian para pihak, dalam hal ini Pinjol sebagai pihak pertama dan peminjam (debitur) sebagai pihak kedua. Ketika penyelenggara Pinjol ilegal tidak terdaftar dalam administrasi pemerintah maupun OJK, ketentuan para pihak dalam hukum perdata otomatis tidak sah,” paparnya.
Aspek perdata lain yang dilanggar Pinjol ilegal adalah objek hukum. Sama halnya dengan perjanjian para pihak, status ilegal juga membuat Pinjol illegal tidak diakui sebagai objek hukum perdata.
Status tidak resmi ity membuat perjanjian utang antara nasabah dan Pinjol ilegal tidak sah di mata hukum. Dan, ketika melakukan pemerasan serta meneror, Pinjol ilegal melanggar Pasal 368 KUHP dan perbuatan tidak menyenangkan pada Pasal 335.
Kebijakan OJK memperketat aturan bagi Pinjol patut diapresiasi. Pengetatan sangat diperlukan, karena Pinjol berpotensi jadi tempat pencucian uang dan pendanaan tindak kejahatan terorisme.
Pengetatan itu tampak pada Surat Edaran OJK No.6/SEOJK/2021 tentang pedoman penerapan program antipencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme bagi penyelenggaran P2P lending yang mulai berlaku 29 Januari 2021.
Selain mewaspadai upaya pencucian uang melalui Pinjol ilegal, ada juga kejahatan di dalam manajemen perbankan yang patut menjadi keprihatinan semua pihak.
Sejumlah kasus yang mengemuka akhir-akhir ini menjadi bukti bank pun rentan terhadap penyalahgunaan kewenangan, baik dilakukan orang dalam (fraud) maupun pihak luar yang memanfaatkan bank sebagai tempat menyembunyikan uang hasil kejahatan.
OJK bersama Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) berupaya memperketat aturan guna mencegah fraud di lingkungan perbankan.
Kejahatan yang dilakukan orang dalam (fraud) mendapat porsi perhatian yang cukup dalam Peraturan OJK Nomor 39 Tahun 2019 Tentang Penerapan Strategi Anti-Fraud bagi Bank Umum.
Fraud, menurut OJK, adalah penyimpangan atau pembiaran yang dilakukan secara sengaja untuk mengelabui, menipu, dan memanipulasi pihak bank, nasabah, atau pun pihak lain.
Langkah pencegahan dan deteksi dini fraud yang merugikan keuangan negara dan masyarakat perlu menjadi perhatian ekstra.
Dibutuhkan penguatan pada aspek pencegahan, serta aspek kepastian bagi perlindungan nasabah. Dalam konteks ini, kerja sama OJK dengan semua institusi penegak menjadi sangat penting dan urgent.
Nasabah harus terlindungi dari kejahatan fraud, dan bank serta penyelenggara Pinjol tidak dijadikan tempat pencucian uang.(rid/ipg)