Sabtu, 23 November 2024

Hidayat Nur Wahid Kritisi Sikap Menag yang Mendukung Permendikbud

Laporan oleh Dhafintya Noorca
Bagikan
Hidayat Nur Wahid Wakil Ketua MPR RI Foto: Faiz suarasurabaya.net

Dr. H. M Hidayat Nur Wahid (HNW), MA Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) mengkritisi sikap Yaqut Cholil Qoumas Menteri Agama. Menag, menurut Hidayat mestinya menasehati Nadiem Makarim Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi  terkait Peraturan Mendikbudristek No. 30 Tahun 2021, tentang pencegahan dan penanganan kekerasaan seksual di perguruan tinggi, yang ditolak oleh banyak pihak, termasuk Pimpinan Majelis Ulama Indonesia (MUI).

HNW menganggap substansi Permendikbud No. 30 Tahun 2021 bisa menggagalkan tujuan pendidikan nasional, lantaran tidak sesuai dengan Pancasila, UUD NRI 1945, norma agama, dan kepatutan sosial.

“Seharusnya Menag menasehati Mendikbudristek yang kembali membuat kebijakan yang mengabaikan Agama. Sebelumnya Kemendikbud juga membuat Peta Jalan Pendidikan Nasional 2020-2035 yang ditolak publik, karena tak sesuai dengan Pancasila dan UUD NRI 1945,” kata HNW dalam siaran pers, Rabu (10/11/2021).

Akhirnya Peta Jalan tersebut ditarik oleh Kemendikbud. Kontroversi itu kini diulangi dengan keluarnya Permendikbudristek no 30/2021. Seperti Peta Jalan Pendidikan Nasional, juga tak sesuai dengan Pancasila, UUD NRI 1945 dan Agama. Dan seperti Peta Jalan Pendidikan Nasional, Permendikbudristek ini juga ditolak oleh masyarakat. Karena itu mestinya Menag menasehati Mendikbudristek agar mengkoreksi Permennya dengan menarik atau merevisi. Dan tidak mengulangi membuat Permen yang kontroversial. Agar tujuan Pendidikan Nasional dapat diwujudkan,” ujarnya.

Sebagaimana diberitakan sejumlah media yang merujuk pada laman resmi Kemenag, Menag mendukung Nadiem dengan Permendikbudristek No. 30 Tahun 2021. Menag justru akan menerbitkan SE Sekretaris Jenderal Kemenag bagi perguruan tinggi keagamaan negeri di seluruh Indonesia.

“Sikap Menag itu wajar dikritisi. Kita prihatin terjadinya kekerasan seksual di Perguruan Tinggi, dan kita sepakat untuk mencegah, dan mencari jalan untuk mengatasinya. Tetapi Permendikbud itu bermuatan ketentuan-ketentuan yang tidak efektif untuk mencegah dan mengatasi, karena hanya menyoal satu sisi “kekerasan seksual”, dan mengabaikan fakta “kejahatan seksual yang terjadi dengan tanpa kekerasan atau dengan sepersetujuan,” terangnya.

HNW mengatakan, kritik dan penolakan muncul dari kalangan kampus. Seperti, Aliansi Penyelenggara Perguruan Tinggi Swasta se-Indonesia, Majelis Pendidikan Tinggi dan Penelitian PP Muhammadiyah, Rektor Universitas Nahdlatul Ulama Yogyakarta, dan juga 14 Ormas Islam yang tergabung dalam Majelis Ormas Islam (MOI). Penolakan juga datang dari Ketua Ikatan Dokter Indonesia bersatu.

“Pimpinan Majelis Ulama Indonesia juga mengkritik dan menolak Permendikbudristek tersebut, agar dicabut atau direvisi, seperti yang disampaikan oleh Ketua Bidang Fatwa MUI KH Dr. Asrorun Ni’am Sholeh, Wasekjend MUI Bidang Hukum dan HAM Ikhsan Abdullah dan Ketua MUI Bidang Dakwah KH Cholil Nafis, Ph.D. Semua menilai aturan yang ada dalam Permendibudristek terutama Pasal 5 ayat (2) bermuatan ketentuan-ketentuan yang bermasalah terkait frasa ‘tanpa persetujuan,’”ujarnya.

Banyak pihak kata HNW mempersoalkan frasa “bila itu terjadi dengan tidak sepersetujuan” (sexual consent) yang dapat diartikan bahwa bila “sepersetujuan” maka sekalipun perbuatan seksual tersebut menyimpang atau asusila seperti perzinahan, seks bebas, seks di luar nikah, oleh Permendibudristek ini dianggap bukan suatu persoalan yang harus dicegah dan ditangani. Sekalipun perbuatan seksual itu tidak sesuai dengan Pancasila, agama, hukum, norma sosial dan tujuan pendidikan nasional di Indonesia.

HNW mengingatkan, tujuan pendidikan nasional yang termaktub dalam Pasal 31 ayat (3) dan ayat (5) UUD NRI 1945 sangat menghormati agama dan mementingkan nilai-nilai agama. Seperti, iman, taqwa, akhlak mulia, dan mencerdaskan kehidupan bangsa,

“Permendikbudristek ini secara tidak langsung menjadi payung aturan untuk tidak mempermasalahkan seks bebas, perzinahan, maupun hubungan seksual lain di Perguruan Tinggi. Sekalipun itu dilarang oleh Agama, hukum dan tak sesuai dengan norma sosial di Indonesia, selama hubungan seksual itu terjadi tanpa kekerasan dan atau terjadi dengan persetujuan (suka sama suka),” ujarnya.(dfn/ipg)

Berita Terkait

Surabaya
Sabtu, 23 November 2024
26o
Kurs