Berdasarkan sejarah, Pertempuran Surabaya dilatarbelakangi adanya kedatangan pasukan sekutu pada 25 Oktober 1945 yang tergabung dalam Allied Forces Netherland East Indies (AFNEI).
AFNEI menginjakkan kaki pertama kali di Tanjung Perak, Surabaya. Kedatangan sekutu yang dipimpin oleh Jenderal Aubertin Walter Sothern Mallaby bertujuan mengamankan tawanan perang dan melucuti senjata tentara Jepang.
Tidak hanya itu, Sekutu juga bertugas untuk menciptakan ketertiban pasca Indonesia mengumumkan kemerdekaannya.
Ketertiban ini berarti seluruh masyarakat harus menyerahkan semua senjatanya, hal ini diumumkan sekutu melalui media selebaran yang ditempel di dinding dan di berbagai tempat pada masa itu.
Perintah sekutu ini tidak membuat masyarakat tunduk. Justru mereka marah dan menolak untuk menyerahkan senjata yang dimilikinya.
Hingga akhirnya masyarakat Surabaya mulai menciptakan sumbu gerakan perlawanan dengan tujuan mengusir Sekutu dari tanah Surabaya.
Singkat cerita, gejolak dari kedua belah pihak memuncak pada tanggal 10 November 1945 dengan ditandai tewasnya Jenderal AWS Mallaby pada 30 Oktober 1945 dan enggannya masyarakat Surabaya menerima ultimatum Inggris untuk menyerahkan diri.
Pada 10 – 12 November Tentara Inggris terus menghujani tanah Surabaya dengan bom, yang banyak menelan korban dari masyarakat yang terlibat pertempuran bahkan anak-anak dan wanita yang tidak terlibat turut menjadi korban ganasnya perang.
Perlu diketahui bahwa tragedi 10 November menjadi pertempuran yang paling sering sepanjang masa revolusi menurut buku berjudul History of Modern Since C.1200 yang ditulis Ricklefs.
Pertempuran Surabaya belum berhenti hingga Desember 1945. Meskipun pada 30 November sekutu sudah berhasil menguasai Surabaya setelah melancarkan serangan bertubi-tubi yang mengakibatkan puluhan ribu masyarakat Surabaya tewas.
Sejarah panjang Pertempuran Surabaya yang menjadi simbol semangat pejuang untuk mempertahankan tanah airnya tentu menyimpan berbagai cerita yang terdiri dari rangkaian mozaik peristiwa.
Peristiwa besar tersebu pula yang menciptakan gerakan jihad santri hingga berdirinya monumen TRIP (Tentara Republik Indonesia Pelajar) di Jalan Gunung Sari, Surabaya, berikut di antaranya:
Nama Perobek Bendera di Hotel Yamato, 19 September 1945
Kusnowibowo adalah nama heroik yang menaiki Hotel Yamato untuk merobek bendera biru milik Belanda sehingga menjadi Bendera Merah Putih.
Insiden perobekan tersebut bukan tanpa alasan, masyarakat Surabaya dibuat geram pada saat itu oleh sikap kelompok Belanda yang memasang bendera Belanda di Hotel Yamato.
Kelompok itu dipimpin oleh W.V.Ch Ploegman pada 18 September 1945 pukul 21.00 WIB tanpa persetujuan Pemerintah RI Daerah Surabaya atas pemasangan bendera tersebut.
Dalam tempo singkat pada keesokan harinya tepatnya 19 September 1945, massa yang geram telah memadati Jalan Tunjungan tepatnya di halaman Hotel Yamato (kini jadi Hotel Majapahit).
Massa yang terlanjur marah karena kemerdekaannya dinodai dengan pengibaran bendera Belanda melakukan perundingan dengan pihak Belanda.
Perundingan digelar antara Residen Surabaya Sudirman dan Wakil Residen (Fuku Syuco Gunseikan) dengan Ploegman dari pihak Belanda.
Secara terang Ploegman menolak permintaan untuk menurunkan bendera Belanda serta tidak mengakui kedaulatan negara Indonesia.
Alhasil perundingan berbuntut ricuh dan Ploegman juga menjadi korban yang tewas pada perundungan itu.
Di keadaan yang chaos itulah massa mulai menaiki gedung dan mendobrak masuk ke dalam lobi hotel sehingga terlibat perkelahian antara kedua belah pihak.
Salah satu dari sekian pemuda yang ikut naik, Kusnowibowo adalah yang mengerek turun bendera dan merobeknya.
Monumen Mastrip di Jalan Gunung Sari
Monumen Mastrip merupakan penanda kegigihan perjuangan tentara muda Indonesia, yang mempunyai rentang usia 12-20 tahun.
Sesuai namanya Tentara Republik Indonesia Pelajar (TRIP), banyak anggota TRIP masih duduk di bangku sekolah.
Monumen TRIP juga dibangun di berbagai kota di antaranya ada di Madiun dan Surabaya. Untuk Surabaya sendiri monumen ini dibangun di Jalan Gunung Sari.
Gunung Sari menjadi titik pertahanan terakhir TRIP saat mereka terdesak oleh sekutu.
“Titik pertahanan terakhir para pejuang TRIP sampai di Jalan Gunungsari ini. Jalan ini sangat bersejarah bagi TRIP. Banyak pejuang yang gugur. Pejuang bergelirya sampai di bukit-bukit atas saat Jalan Gunungsari jatuh dikuasai Belanda,” kata Budhi Marto Humas TRIP Malang.
Mengenai imbuhan “mas” pada TRIP, karena dahulu para tentara muda ini akrab disapa oleh “Mas-mas TRIP” oleh masyarakat khususnya di Jawa Timur.
Resolusi Jihad Santri dan Hari Santri
Pada tanggal 21 dan 22 Oktober 1945, wakil-wakil cabang NU di seluruh Jawa dan Madura berkumpul di Surabaya dan menyatakan perjuangan kemerdekaan sebagai Jihad (perang suci).
Dalam pertemuan itulah akirnya melahirkan Resolusi Jihad NU 22 Oktober yang menjadi dasar penetapan Hari Santri.
Resolusi Jihad Kiai Hasyim Asy’ari turut menggerakkan seluruh elemen bangsa khususnya para santri untuk mempertahankan kemerdekaan dari Agresi Militer Belanda kedua yang menggandeng sekutu.
Tidak hanya memusat di Surabaya dan pecah pada 10 November, akan tetapi dalam mempertahankan kedaulatan para santri juga menyebar ke berbagai wilayah.
Dikutip dari laman NU Online para santri dalam upaya mempertahankan kedaulatan terlibat angkat senjata di daerah Jatingaleh, Gombel, dan Ambarawa melawan sekutu.
Kabar pecahnya pertempuran di sejumlah wilayah juga tersiar ke daerah Parakan Jawa Tengah, Hingga terdengar juga oleh Laskar Hizbullah dan Sabilillah Parakan ikut bergabung bersama pasukan lain dari seluruh daerah Kedu Jawa Tengah.
K’tut Tantri sindir Inggris melalui siaran Radio Pemberontakan
Saat Inggris mulai memborbardir Surabaya melalui serangan udara selama dua hari dari 10-12 November 1945.
K’tut Tantri penyiar Radio Pemberontakan menyindir serangan itu menggunakan bahasa Inggris melalui siaran bahwa peristiwa yang terjadi saat ini merupakan lembaran paling gelap dalam sejarah Inggris.
Wanita yang juga berkebangsaan Inggris itu dengan lantang menantang segala tindak penindasan yang dilakukan negaranya sendiri kepada rakyat Indonesia.
Bahkan dalam pidatonya tepat 10 November 1945, Tantri mengatakan bahwa dia akan terus bersama rakyat Indonesia, kalah atau menang.
Perlawanannya melalui siaran radio kerap membuat sekutu geram, bahkan Belanda pernah melayangkan janji melalui siaran berita, bagi siapa saja rakyat Indonesia yang bisa menyerahkan K’tut Tantri akan diberi hadiah 50.000 gulden.(wld/ipg)