Iqbal Felisiano, pakar hukum pidana Universitas Airlangga berpandangan sebaiknya koruptor Jiwasraya dan Asabri dimiskinkan daripada dihukum mati.
“Saya bukannya tidak mendukung pidana mati. Saya akan mendukung saat konteksnya jelas, diberikan secara proposional. Apa mempidana mati koruptor adalah tindakan yang tepat. Kalau saat bencana, saya rasa tidak ada masalah,” kata Iqbal kepada Radio Suara Surabaya, Selasa (2/11/2021).
Dia menyarankan untuk melakukan pelacakan aset yang seharusnya dikembalikan ke negara. Lari kemana saja uang yang dikorupsi. Kalau sudah terpetakan, bisa disita.
“Korban utama korupsi itu masyarakat. Harus diingat ada uang masyarakat berupa pajak yang diambil. Jangan sampai mematikan orang tapi aset tidak kembali,” kata dia.
Dalam konteks tuntutan hukuman mati untuk koruptor, menurut Iqbal, tergantung pasal mana yang digunakan. Kalau Pasal 2 ayat 2 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto UU Nomor 20 Tahun 2001, perlu diperhatikan apakah pelaku tindak pidana korupsi Jiwasraya dan Asabri memenuhi syarat keadaan tertentu yang dimaksud dalam UU tersebut.
“Harap diingat itu digunakan untuk tindak pidana korupsi pada saat bencana alam. Kalau soal pengulangan, ada juga residivis. Kalau besaran nilai korupsi, yang lebih besar banyak. BLBI itu sebenarnya jauh lebih besar dari dua kasus itu,” ujarnya.
Menurutnya, tidak ada pemberatan hukuman mati. “Setahu saya pemberatan pada masa hukuman maksimal 20 tahun.(iss)