Sabtu, 23 November 2024

Kejagung Siapkan Parameter Penerapan Tuntutan Hukuman Mati untuk Koruptor

Laporan oleh Ika Suryani Syarief
Bagikan
Ilustrasi parameter penerapan hukuman mati. Foto: Pixabay

Fathur Rohman Kasi Penerangan Hukum Kejaksaan Tinggi Jawa Timur mengatakan rencana ST Burhanuddin Jaksa Agung yang akan menerapkan tuntutan hukuman mati terhadap pelaku korupsi Asabri dan Jiwasraya sudah sesuai dengan UU Nomor 31 Tahun 1999 juncto UU Nomor 20 Tahun 2021 tentang tindak pidana korupsi.

Dalam Pasal 2 ayat 2 dinyatakan dalam keadaan tertentu, tindak pidana mati dapat dijatuhkan.

“Yang dimaksud dengan “keadaan tertentu” adalah pemberatan bagi pelaku apabila korupsi tersebut dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya, pada waktu terjadi bencana alam nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi, atau pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter,” kata Fathur kepada Radio Suara Surabaya, Selasa (2/11/2021).

Akan tetapi kata Fathur, tidak kemudian semua tindak pidana korupsi dapat diukur oleh parameter yang sama terkait hukuman mati. Dalam kajian itu masih ada banyak pertimbangan.

“Setiap kasus korupsi tentu memiliki karakteristik, metode, dan parameter yang berbeda sehingga tidak semua bisa dijatuhi hukuman mati. Termasuk pengulangan kasus korupsi meski ada pengulangan tapi nilainya kecil tentu hukuman mati akan berat dilakukan. Selain itu kita juga selalu mempertimbangkan hak asasi manusia,” katanya.

Saat disinggung mengenai kasus Juliari Batubara yang melakukan tindak pidana korupsi di saat negara tengah berjuang mengatasi pandemi, Fathur mengatakan bahwa kasus itu memiliki kemungkinan untuk dilakukan hukuman mati.

“Jadi untuk kasus Juliari yang menangani itu KPK, proses kebijakan dan penuntutan juga dari KPK. Namun sesuai undang-undang itu sangat memungkinkan untuk dihukum mati.”

Hadirnya kasus korupsi Juliari di tengah pandemi, lalu kasus Asabri dan Jiwasraya yang bernilai fantastis membuat isu hukuman mati bagi koruptor kembali berembus kencang di kalangan masyarakat.

Akan tetapi Kejaksaan Agung hingga kini tidak kunjung melakukan hukuman yang berat kepada para koruptor hingga membuat banyak pihak seperti Indonesia Coruption Watch (ICW) dan masyarakat menyebut ‘hukuman mati’ hanya jargon politik dari Kejaksaan Agung.

“Jadi wacana ini kemudian timbul karena ada perkara korupsi yang cukup fantastis hingga mencapai nilai 16T sampai 22T. Ini sesuatu yang jarang terjadi sehingga kajian itu dilontarkaan saat ditemukan kasus-kasus besar,” jelas Fathur ketika menanggapi desas-desus yang ada di ruang publik saat ini.

Fathur menjelaskan kini progres dari Kejaksaan Agung masih menerima masukan dari organisasi masyarakat serta organisasi pemerintah sebagai bahan pertimbangan kajian nantinya.

“Kajian ini perlu ada masukan dari banyak pihak, selain dari masyarakat dan pemerintah, kita juga perlu melihat respon dari pihak luar. Karena ada beberapa negara yang sudah tidak sepakat dengan hukuman mati,” imbuhya.

Kini Fathur dan pihaknya mengatakan tengah menunggu keputusan dari pusat tentang penerapan dan pelaksanaan tuntutan hukuman mati untuk diterapkan di Provinsi Jawa Timur sesuai hasil Undang-Undang yang akan disepakati.

“Hukuman mati adalah keadilan untuk rakyat tapi hak asasi manusia tetap harus kita junjung tinggi. Kita tentu akan melaksanakan apa yang ada di per undang-undangan untuk penerapan hukuman mati, namun harus melihat perkara tindak pidana sehingga kemudian kita bisa mengakomodir semua kepentingan,” pungkasnya. (wld/iss)

 

Berita Terkait

Surabaya
Sabtu, 23 November 2024
26o
Kurs