Sabtu, 23 November 2024

Pimpinan MPR Ingatkan Kewajiban Negara untuk Sejahterakan Seluruh Rakyat

Laporan oleh Farid Kusuma
Bagikan
Hidayat Nur Wahid Wakil Ketua MPR RI Foto: Faiz suarasurabaya.net

Hidayat Nur Wahid Wakil Ketua MPR RI mengkritisi pernyataan Muhadjir Effendy Menteri Koordinator bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) yang bilang bantuan sosial (bansos) tidak bisa menyelesaikan masalah kemiskinan ekstrem.

Menurut Hidayat, pelaksanaan bantuan untuk menangani fakir miskin amanah UU Nomor 13 Tahun 2011 haruslah bersifat terarah, terpadu, dan berkelanjutan.

Dengan begitu, Negara berkewajiban melindungi seluruh Rakyat Indonesia termasuk dari kemiskinan ekstrem, dengan memajukan kesejahteraan Umum, sebagaimana ketentuan dalam Alinea keempat Pembukaan UUD, dapat terwujud.

“Yang terjadi saat ini bantuan sosial masih belum terprogram secara baik untuk atasi masalah kemiskinan ekstrem mau pun non ekstrem, bahkan belum terintegrasi dengan maksimal, ditambah masalah akurasi pendataan yang berdampak pada akurasi program, dan juga kalahnya keberpihakan anggaran untuk bantuan sosial daripada anggaran-anggaran proyek-proyek kontroversial seperti dana talangan Jiwasraya, dana talangan Kereta Cepat, dan pembangunan Ibu Kota Negara baru,” ujarnya di Jakarta, Minggu (31/10/2021).

Jika aspek komprehensif dan terkoordinasi dalam penyaluran bantuan sebagaimana aturan di Pasal 27 UU 13/2011 bisa benar-benar dijalankan, Hidayat yakin bantuan sosial bisa berperan signifikan mengatasi kemiskinan ekstrem di Indonesia.

“Pembukaan Undang-Undang Dasar dan Pancasila sudah mengamanahkan agar Negara dapat melindungi segenap bangsa, memajukan kesejahteraan umum, laksanakan keadilan sosial dan pelihara fakir miskin. Dalam pelaksanaannya, kewajiban ini harus disikapi dengan serius, bersifat komprehensif, terintegrasi antar program, dan terkoordinasi antar Kementerian-Lembaga sebagai kunci untuk menjalankan amanah UUD tersebut agar efektif berkontribusi mengentaskan kemiskinan termasuk yang ekstrem. Sayangnya hal mendasar tersebut belum berhasil dilaksanakan secara maksimal oleh Pemerintah,” imbuhnya.

Anggota Komisi VIII DPR RI itu menjelaskan, berdasarkan paparan Kementerian Keuangan, efektivitas program bansos terus mengalami penurunan sejak tahun 2015.

Misalnya, per Rp100 triliun anggaran, Program Indonesia Pintar dan Program Keluarga Harapan pada 2015 bisa mengurangi kemiskinan sekitar delapan persen dan 15 persen.

Tapi, pada 2018 kemampuannya masing-masing tinggal tiga dan lima persen.

“Penurunan efektivitas tersebut besar kemungkinannya karena akurasi data dan efektivitas program yang masih bermasalah, sehingga programnya tidak solutif, dan banyak warga yang mestinya layak terima bansos justru tidak menerima, dan warga tidak layak menerima tapi justru menerima bansos,” imbuhnya.

Permasalahan data dan disintegrasi bansos, lanjut HNW, juga menyebabkan 20 persen warga miskin dengan pendapatan terbawah, justru tidak menerima satu pun jenis bansos.

“Padahal, seharusnya mereka bisa menerima empat jenis program bansos dari aspek perlindungan sampai aspek pemberdayaan,” timpalnya.

Kesenjangan tersebut diperparah dengan masih ditemukannya penyunatan besaran bansos hingga korupsi bansos kelas kakap yang sampai melibatkan Menteri Sosial.

“Belum lagi minimnya koordinasi antar K/L dalam perancangan bansos. Untuk Kementerian yang berada di satu Komisi saja seperti Kemensos dan KemenPPPA, ternyata Kementerian PPPA tidak dilibatkan dalam merancang program bantuan anak yatim, padahal seharusnya rencana bantuan tunai dari Kemensos untuk anak yatim bisa dilengkapi dengan program UPTD-PPA yang ada di daerah, sehingga bantuan dan pendampingan bisa berkelanjutan,” ujarnya.

Wakil Ketua Majelis Syura PKS itu menilai, bukannya menyelesaikan masalah secara mendasar dan menyeluruh, Kemensos belum lama ini justru mengurangi usulan data anak yatim penerima bansos.

“Kemensos juga mencoret sembilan jutaan data warga yang berhak terima bantuan kesehatan. Sementara, anggaran Negara malah dihamburkan untuk hal yang bukan merupakan kewajiban konstitusional membantu fakir miskin, mau pun sesuai janji kampanye seperti digelontorkannya APBN untuk talangi Asuransi Jiwasraya sebanyak Rp22 triliun, Bangun IKN minimal Rp89,4 triliun, dan suntik proyek Kereta Cepat Jakarta Bandung setidaknya Rp4,3 triliun,” paparnya.

Kalau seluruh anggaran tersebut dialihkan untuk peningkatan cakupan program Bansos, HNW menyebut cukup menghadirkan program yang kreatif, produktif, dan efektif untuk mengatasi kemiskinan ekstrem.

Pogram pengentasan kemiskinan tersebut sejatinya juga tidak layak disebut sebagai bantuan, apalagi diklaim bantuan dari Pemerintah, karena faktanya hal itu merupakan amanat Konstitusi yang dibiayai oleh APBN yang bersumber dari pajak rakyat.

Dampaknya karena sebagai Pemerintah merasa memberikan bantuan ke rakyat, maka seolah-olah berhak, misalnya, marah-marah di hadapan publik seperti yang dilakukan Tri Rismaharini Menteri Sosial.

“Program bansos menjadi seperti balsam yang tidak bisa menyembuhkan, sebagaimana istilah Pak Muhadjir, justru karena tidak akuratnya program, simpang siurnya pendataan, kalahnya keberpihakan anggaran, dan kinerja Menteri yang bukannya menyelesaikan masalah secara fundamental tapi malah terus menghadirkan kontroversial. Kami tetap yakin bansos sebagai program yang komprehensif bisa selesaikan masalah kemiskinan dari yang sekadar rentan sampai yang di titik ekstrem. Kuncinya adalah harus terintegrasi, terkoordinasi, tervalidasi, dan bebas dari korupsi,” pungkasnya.(rid/iss)

Berita Terkait

Surabaya
Sabtu, 23 November 2024
26o
Kurs