Sabtu, 23 November 2024

Bijak Bermedia Sosial Ala Habib Ja’far

Laporan oleh Dhafintya Noorca
Bagikan
Habis Husein Ja'far Al Hadar. Foto: instagram @husein_hadar

Habib Husein Ja’far pendakwah yang aktif di media sosial menilai bahwa media sosial adalah medium yang terbuka bagi siapa saja.

Namun, baginya, keterbukaan itu justru bagai dua sisi yang saling bertolak belakang antara memberikan kebaikan atau justru menebarkan keburukan.

Kebaikan yang dimaksud Habib Ja’far, salah satunya di media sosial, masyarakat bisa menggali inspirasi dari sumber-sumber yang dulu tidak dapat tempat untuk didengar.

Sedangkan sisi negatifnya, orang dengan pengetahuan yang minim bahkan nihil bisa bicara apa saja atas banyak hal yang dia tidak memiliki kompetensi atas itu.

“Yang kompeten digeser oleh yang tidak kompeten tapi followersnya banyak, ini yang disebut dengan hilangnya kepakaran. Sehingga kita sampai pada era post truth, tidak penting salah benar yang penting banyak followers maka dia akan menang dalam perdebatan di medsos meski sebenarnya dia salah,” kata Habib Ja’far kepada Radio Suara Surabaya, Kamis (28/10/2021).

Agar era hilangnya kepakaran ini tidak terus menerus terjadi, dia menilai kedua belah pihakz baik followers dan influencer, mau sama-sama menahan diri.

Followers harus menahan diri mengidolakan orang yang tidak tepat, dan influencer juga menahan diri untuk tidak berbicara atas hal yang dia tidak ketahui.

Tantangan influencer menurutnya adalah popularitas.

“Popularitas ini jadi semacam fitnah. Dalam artian ketika kamu jadi influencer yang bisa ngomong apa saja dan banyak yang percaya, saat itu kamu harus menahan nafsu dan ego bicara banyak hal karena banyak yang akan percaya dan itu bahayanya besar,” katanya.

Dalam hal media sosial digunakan sebagai sarana untuk menyebarkan kebencian, menurut Habib Ja’far, tantangan keilmuan adalah kebodohan.

Dia ibaratkan ada orang berilmu tapi orang itu perasaannya masih terbelenggu nafsu yang mengakibatkan kebencian.

“Sehingga kepintarannya jadi alat untuk membodohi orang lain, menyebarkan kebencian dan menebarkan hal yang bertentangan dengan keilmuannya,” katanya.

Absennya etika di media sosial saat ini menurutnya menjadi kodrat bagi masyarakat yang hidup di masa peralihan dari era cetak ke digital seperti sekarang.

Maka, kata dia, sudah menjadi tugas bersama untuk membangun kesadaran etik tentang bagaimana hidup lebih baik di era yang baru.

“Tugas kita memberi kode etik tentang bagaimana hidup yang baik di era digital karena kita berada di masa itu. Membuat Undang-Undang, membuat aturan bersama itu kan bagian jihad kita untuk memberikan fasilitas kepada generasi yang akan datang agar media sosial bisa memberikan kebaikan,” katanya.

Untuk menghindari segala keburukan yang ditimbulkan media sosial, ada tiga cara yang menurutnya perlu dilakukan.

Pertama adalah menyadari bahwa di media sosial, kreatifitas adalah kunci. Karena itu, sudah seharusnya menghadirkan tontonan yang bernilai tuntunan.

Kedua, menyadari bahwa membuat media sosial yang sehat adalah urgensi, karena siapa saja bisa menjadi korban orang tidak bijaksana di media sosial.

“Terakhir, butuh kolektifitas kebersamaan untuk membuat media sosial yang baik karena eranya saat ini kolaborasi bukan kompetisi,” ujarnya.(dfn/den)

Berita Terkait

Surabaya
Sabtu, 23 November 2024
26o
Kurs