Keberadaan bahasa daerah menurut penelitian Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) pada 2020 lalu, terancam punah. Tepatnya sebanyak 25 bahasa yang kebanyakan berasal dari Indonesia Timur. Menurut penelitian Kemendikbud, bahasa daerah di Indonesia Timur lebih rentan punah dibanding Indonesia Barat seperti bahasa Jawa atau Sunda yang masih banyak penuturnya.
Kondisi ini diakui oleh Surana Dosen Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa Universitas Negeri Surabaya (UNESA). Menurutnya, bahasa Jawa masih akan terus eksis, selama ada penutur yang menggunakan bahasa Jawa secara intens.
Apalagi, penutur bahasa Jawa, lanjut Surana, adalah penutur bahasa daerah terbesar di Indonesia. Serta masih banyak orang Jawa yang menggunakan bahasa Jawa sebagai pilihan bahasa pertama mereka.
“Kalau (bahasa Jawa) hilang itu tidak mungkin. Selama masih ada orang Jawa, paling tidak satu pasangan saja yang pilihan pertamanya memakai bahasa Jawa. Penutur bahasa Jawa itu penutur bahasa daerah terbesar di Indonesia,” kata Surana kepada Radio Suara Surabaya, Senin (25/10/2021).
Mengenai jumlah penutur bahasa daerah yang semakin menurun, menurut Surana, hal itu disebabkan dua faktor. Yakni faktor dari bahasa daerah itu sendiri dan faktor di luar bahasa tersebut.
Dalam kasus bahasa Jawa misalnya, ada 11 tingkatan bahasa tutur. Mulai dari basa Krama (Krama Inggil, Mudakrama, Kramantara, Wredakrama), Basa Madya (Madyakrama, Madyantara, Madya Ngoko), Ngoko (Antya Basa, Basa Antya, Ngoko Lugu) hingga basa Bagongan yang biasa dipakai di lingkungan keraton.
Dengan banyaknya tingkatan tutur tersebut, akhirnya pemerintah Indonesia yang saat itu dibawah kepemimpinan Abdurrahman Wahid Presiden, bahasa Jawa yang diajarkan di bangku sekolah adalah dua tingkatan saja, yakni basa Krama dan basa Ngoko. Upaya tersebut dilakukan agar pemahaman generasi muda terhadap bahasa Jawa lebih mudah dan minat mereka terhadap bahasa Jawa terus berkembang.
“Dua (tingkatan) bahasa saja yang diajarkan sekolah untuk mengurangi potensi penurunan jumlah penutur. Kalau semua tingkatan diajarkan maka akan menambah kerumitan penutur Bahasa Jawa,” kata pria yang juga sebagai Kepala Jurusan Pendidikan Bahasa Daerah itu.
Sedangkan faktor di luar bahasa yang menjadikan penutur bahasa daerah berkurang, menurut Surana karena Indonesia sebagai negara yang bilingual. Yang mana, masyarakat dihadapkan oleh dua pilihan bahasa, bahasa daerah yang biasanya digunakan sebagai bahasa ibu, dan bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi negara.
“Faktor lain penyebab turunnya penutur bahasa daerah, karena ada pilihan berbahasa lain,” tambahnya.
Belum lagi globalisasi membuat bahasa asing seperti bahasa Inggris yang mulai banyak digunakan sebagai bahasa campuran.
Menurut Surana, menjadi wajar saat masyarakat berbahasa campur karena memang pilihan bahasa yang digunakan tidak tunggal. Misalnya masyarakat yang menggunakan Bahasa Indonesia sebagai bahasa ibu ketimbang bahasa daerah, membuat bahasa daerah tidak terus menerus dituturkan.
Jika masyarakat mulai terbata-bata menggunakan bahasa daerah, artinya frekuensi penggunaan bahasa daerah oleh masyarakat itu turun atau berkurang.
Untuk itu ia menegaskan, tidak semestinya masyarakat untuk malu menggunakan bahasa daerah. Apalagi bahasa daerah, misalnya bahasa Jawa, sudah menarik banyak minat orang asing untuk mempelajarinya.
Sehingga, pengakuan dari negara lain tentang bahasa daerah seharusnya mendorong generasi muda untuk bangga menggunakan bahasa daerah.
“Bahasa Jawa itu kaya akan naskah-naskah, seni karawitan juga menyusul. Orang asing di luar Indonesia sudah banyak belajar dan mengakui. Akan ironis sekali kalau kita saja tidak mengakuinya,” tegas Surana.(tin/rst)