Sabtu, 23 November 2024

Wakil Ketua MPR Tegaskan PPHN Bukan Haluan Pemerintah

Laporan oleh Farid Kusuma
Bagikan
Arsul Sani Wakil Ketua Umum PPP. Foto: dok.suarasurabaya.net

Arsul Sani Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) mengatakan, sudah sekitar setahun belakangan membahas wacana pemberlakuan Pokok Pokok Haluan Negara (PPHN).

Pimpinan MPR RI juga sudah mulai melakukan sosialisasi pemberlakuan PPHN ke seluruh lapisan masyarakat.

“Setelah digulirkan ke publik, kami mendapat respons dan masukan dari berbagai kalangan masyarakat. Dari akademisi, pegiat konstitusi, LSM, aktivis demokrasi, dan elemen masyarakat lainnya,” ujar Arsul dalam Diskusi Empat Pilar MPR RI di Bandung, Jawa Barat, Sabtu (23/10/2021).

Menurut Arsul, tanggapan masyarakat ada yang positif, ada yang negatif. Ada yang pro dan ada juga kalangan masyarakat yang kontra.

“Maka dari itu, saya usulkan supaya alasan-alasan yang dikemukakan masyarakat, baik yang mendukung dan menolak PPHN dibuat matriksnya,” ucapnya.

Matriks itu, kata politisi dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP), berfungsi untuk mendata berbagai alasan masyarakat yang mendukung, serta argumentasi pihak yang menolak.

“Itu perlu supaya diskursus di ruang publik menjadi jelas. Kalau sudah ada matriksnya, maka MPR tidak perlu lagi bolak-balik menjelaskan mengenai perlunya PPHN,” imbuhnya.

Melihat peta politik di MPR, kata Arsul, semua sepakat PPHN diperlukan. Tapi belum ada kesepakatan mengenai isinya.

“Meski sudah sepakat haluan negara dokumennya bernama PPHN, tetapi isinya apa belum ada kesepakatan atau kebulatan,” ungkapnya.

Dia berharap, tahun depan MPR punya kewajiban mengurai isi PPHN. “Supaya perdebatan yang terjadi tidak lagi seputar pro dan kontra PPHN,” ujarnya.

Lebih lanjut, Arsul menyebut masyarakat yang keberatan dengan PPHN karena memerlukan amandemen UUD NRI 1945.

“Nah, kalau ada amandemen masyarakat curiga nanti akan ada agenda lain, misalnya keinginan kembali ke UUD Tahun 1945 atau memperpanjang masa jabatan Presiden,” tegasnya.

Merespon itu, Arsul menjelaskan amandemen UUD berbeda dengan perubahan undang-undang.

“Perubahan UU bisa saja tidak perlu naskah akademik. Tapi, kalau amandemen UUD itu memerlukan ketentuan yang harus dipenuhi seperti syarat jumlah pengusul dan apa yang hendak diamandemen atau diubah harus disertai dengan alasan. Alasan itu harus diajukan lebih dahulu. Apa-apa yang ingin diubah harus jadi diskursus publik,” katanya.

Dengan syarat dan ketentuan proses amandemen, maka menurut Arsul mengubah UUD tidak bisa dilakukan sembarangan.

“Kalau diubah secara sembarangan hal itu merupakan tindakan inkonstitusional,” tegasnya.

Lebih lanjut, Arsul Sani mengatakan kalau amandemen terbatas mengubah Pasal 3 menambahkan kewenangan MPR menetapkan PPHN, tidak akan berdampak apa-apa pada sistem presidensial.

“Saat ini Presiden bisa di-impeach kalau melanggar UUD dan melakukan perbuatan tercela. Soal PPHN seharusnya juga demikian. Kalau pasal itu nggak ditambahkan lalu buat apa amandemen? Apa manfaatnya membuat dokumen yang tidak ada konsekuensi konstitusionalnya?” imbuhnya.

Arsul bilang, PPHN adalah haluan negara bukan haluan pemerintah. Sehingga, apa yang ada di haluan negara bukan cuma untuk dijalankan Presiden tetapi juga lembaga negara lainnya.(rid/dfn/den)

Berita Terkait

PPHN Bisa Dihadirkan Melalui Konsensus Politik

Hasil Kajian PPHN Ditargetkan Selesai Awal 2022


Surabaya
Sabtu, 23 November 2024
27o
Kurs