Berdasarkan data UNESCO, Indonesia menempati urutan kedua dari bawah soal literasi dunia, artinya minat baca sangat rendah. Minat baca masyarakat Indonesia terhitung memprihatinkan, hanya 0,001%. Artinya, dari 1,000 orang Indonesia, cuma 1 orang yang rajin membaca.
Riset berbeda bertajuk World’s Most Literate Nations Ranked yang dilakukan oleh Central Connecticut State Univesity pada Maret 2016 lalu, Indonesia dinyatakan menduduki peringkat ke-60 dari 61 negara soal minat membaca, persis berada di bawah Thailand (59) dan di atas Bostwana (61). Padahal, dari segi penilaian infrastuktur untuk mendukung membaca, peringkat Indonesia berada di atas negara-negara Eropa.
Tingkat minat baca Indonesia menjadi topik hangat yang diperbincangkan di Program Wawasan Radio Suara Surabaya pada Kamis (21/10/2021).
Menurut Eric Stenly Head of Language Center of Hospitality and Tourism Innovation Universitas Ciputra, membaca memiliki keterkaitan dengan budaya. Data tentang rendahnya minat baca di Indonesia tentu menjadi pengingat, namun lanjutnya, membaca adalah budaya merupakan hasil dari budaya yang telah berlangsung lama. Sedangkan budaya membaca Indonesia rendah dan tak cukup membutuhkan waktu 1-2 tahun.
Eric mengatakan, budaya literasi masyarakat Indonesia lebih banyak budaya berbicara mulut ke mulut atau world of mouth.
“Word of mouth lebih jalan, atau budaya melambe-lambe, tutur tinularnya lebih jalan di Indonesia. Apalagi kalau nggosip, bermedia sosial,” kata Eric.
Menurutnya, yang perlu diperhatikan tak hanya tingkat membaca dari sekadar membaca saja, namun juga sejauh mana pemahaman terhadap sesuatu yang sedang mereka baca.
“Untuk sukses, tidak ha nya baca tapi juga memahami. Kita nggak bisa memaksa orang buat baca keseluruhan. Lebih ke menyesuaikan kebutuhan,” lanjutnya.
Era Post-Truth
Tercatat sebanyak 60 juta penduduk Indonesia memiliki gadget, atau urutan kelima dunia terbanyak kepemilikan gadget. Lembaga riset digital marketing Emarketer memperkirakan pada 2018 lalu, jumlah pengguna aktif smartphone di Indonesia lebih dari 100 juta orang. Dengan jumlah sebesar itu, Indonesia akan menjadi negara dengan pengguna aktif smartphone terbesar keempat di dunia setelah Cina, India, dan Amerika.
Ironisnya, meski minat baca buku rendah tapi data wearesocial per Januari 2017 mengungkap orang Indonesia bisa menatap layar gadget kurang lebih 9 jam sehari. Tidak heran dalam hal kecerewetan di media sosial orang Indonesia berada di urutan ke 5 dunia.
Lewat gadget memang banyak informasi fakta yang beredar. Sayangnya informasi yang mereka dapatkan juga bukan berasal dari media yang bisa dipercaya, melainkan dari media sosial yang lebih banyak dipenuhi oleh opini, bukan fakta. Bahkan sebaliknya, mereka malah percaya dengan portal-portal fake news dan akun-akun penyebar hoax itu.
Reuters Institute menyebutkan, jurang terbesar saat ini justru adalah soal kepercayaan masyarakat terhadap media fake news versus media yang valid. Diukur lewat Alexa.com beberapa media fake news bahkan bisa mengalahkan media mainstream seperti Antaranews dan Tempo.co.
Post-Truth ini merujuk kepada keadaan di mana fakta-fakta obyektif kurang berpengaruh dalam pembentukan opini publik dibandingkan emosi dan keyakinan pribadi. Di era Post-Truth, orang tidak lagi mencari kebenaran dan fakta melainkan afirmasi dan konfirmasi dan dukungan atas keyakinan yang dimilikinya.
Memang kini banyak situs opini yang bias, menyerang, dan tendensius pada satu kelompok, mereka bisa mengambil hati dan perasaan pembaca dengan story-telling yang mereka buat. Kebenaran menjadi tidak penting.
Kredibilitas nama medianya apalagi, sudah tidak dilihat oleh masyarakat kita yang malas baca dan cerewet tadi. Ketika media mainstream justru berseberangan faktanya dengan media opini tersebut, masyarakat justru malah berbalik menjadi tidak percaya terhadap media-media bernama besar itu. Jadi yang mengganggu bukan hanya media sosial berisi hoax tapi juga media fake news yang menyebarkan opini yang terpolarisasi.(tin/rst)