Di masa pandemi Covid-19, kebanyakan media mengalami kesulitan ekonomi karena menurunnya jumlah pengiklan. Bahkan beberapa di antaranya terpaksa merumahkan karyawan untuk menghemat biaya operasional.
Berbeda yang dilakukan Dahlan Iskan. Pria berusia 70 tahun ini malah mendirikan sebuah media bernama Harian Di’s Way yang struktur kepemilikan sahamnya 98 persen dimiliki karyawan.
Mantan reporter itu mengaku, mendirikan media sebagai bentuk kesukaannya menulis dan ia senang bisa memberikan wadah orang untuk menulis.
Nama Di’s Way sendiri, akunya, terinspirasi dari sebuah buku berjudul “This Way” yang ditulis oleh penulis favoritnya.
Kata Di’s Way juga bisa ditafsirkan sebagai Dahlan Iskan’s Way atau Jalan Dahlan Iskan, atau dalam bahasa inggris terdengar seperti “this way” atau jalan ini.
Ia menyerahkan makna itu kepada masyarakat sesuai penafsiran masing-masing. Dia bilang, sudah seharusnya penulis memberi lebih banyak makna kepada pembaca dan tidak memberikan alternatif tunggal.
Pendiri Graha Pena, pelopor gedung pencakar langit di Surabaya itu juga menjelaskan bahwa penulis maupun wartawan, harus memberikan ruang imajinasi yang luas kepada pembaca.
Dengan begitu, pemikiran pembaca terhadap tulisan akan terus berkembang dan tidak berhenti di satu sisi saja.
“Tafsirnya bebas. Wartawan yang baik adalah wartawan yang tidak mengarahkan pembaca, tapi yang menyediakan pilihan-pilihan. Pembaca harus diberi ruang. Wartawan tidak boleh arogan” kata Dahlan di program The Journey, Suara Surabaya, edisi Jumat (15/10/2021).
Mantan CEO surat kabar Jawa Pos itu mengungkapkan, saat ini media cetak khususnya koran, menghadapi tantangan besar, yakni tantangan kepercayaan.
Awalnya, ia mengaku berpandangan bahwa media cetak tidak akan hilang di tengah munculnya media-media online yang ‘menjamur’. Karena dia yakin, media cetak lebih dipercaya oleh masyarakat.
“Dulu saya pikir, media online sulit dipercaya. Gambaran saya, klarifikasi yang betul akan mengacu pada koran. Koran akan terus hidup karena koran dipercaya. Dari logika itu, saya berpikir koran akan terus hidup sebagai clearning house,” tegasnya.
Namun, keyakinannya mulai runtuh saat mengetahui, bahwa berdasarkan riset yang dia baca, masyarakat malah lebih percaya media online beberapa waktu terakhir.
“Padahal saya sudah bikin Di’s Way cetak, yah, kita lihat saja lah. Wartawan apakah bisa membangun lagi kepercayaan yang sudah jatuh,” tuturnya.
View this post on Instagram
Dahlan Iskan dikenal bukan hanya sebagai pengusaha, tetapi juga mantan pejabat negara. Ia pernah diminta Susilo Bambang Yudhoyono saat menjabat sebagai presiden untuk mengisi kursi Menteri BUMN.
Pada 2012, dia meminta Ricky Elson, seorang anak muda Indonesia yang ahli di bidang motor listrik, untuk mengembangkan mobil listrik buatan Indonesia.
Saat itu, ida berpikir bahwa sudah saatnya Indonesia menjadi pelopor penggunaan massal mobil listrik. Meski masih berasal dari luar negeri, hal itu tidak mengurangi semangatnya mengembangkan mobil listrik di Indonesia.
Alasan pertama, karena ia tak ingin penduduk Indonesia hanya menjadi konsumen dalam industri otomotif.
“Saya menyuarakan mobil listrik, bukan mau bikin pabrik mobil listrik. Tapi Indonesia jadi pelopor mobil listrik mumpung negara-negara lain belum mulai. Kalau enggak, kita akan jadi konsumen lagi,” paparnya.
Meskipun saat ini, atau 9 tahun setelah wacana itu diluncurkan, belum ada tindak lanjut. Padahal, sekarang ini banyak negara yang sudah mengembangkan mobil listrik. Indonesia kembali kehilangan momentum.
“Dulu banyak yang mempertanyakan ‘apa bisa?’ sekarang kejadian. Tapi sudah sangat telat,” ujarnya.
Meski begitu, ia mendorong agar mobil listrik terus dikembangkan di Indonesia. Ini karena jumlah kendaraan terus meningkat setiap tahun, sedangkan ketersediaan bahan bakar minyak di alam terus berkurang.
Jika tidak segera dialihkan ke listrik, lanjut Dahlan, hal itu bisa menjadi bencana.
“Jumlah kendaraan naik begitu besar, berarti kita perlu BBM luar biasa banyak. Sedangkan produksi minyak mentah terus menurun. Impor BBM jadi devisa. Ini bukan bencana yang sebentar lalu hilang. Tapi ini bisa jadi bencana seumur hidup. Lalu kenapa ngga diatasi sekarang?” Kata mantan Direktur PLN itu.
Sebagai mantan reporter, ia suka mempelajari banyak hal. Mulai dari energi hingga olahraga.
Saat memimpin Jawa Pos, Dahlan Iskan terkenal memiliki keterkaitan erat dengan Persebaya, dan tentu saja Bonek pendukung Persebaya, bahkan sampai sekarang.
Dia menegaskan, julukan Bonek muncul bukan dari dirinya, tapi dari Tim Jawa Pos. Ia lalu menceritakan awal mula tercetusnya nama Bonek untuk suporter Persebaya.
“Nama Bonek itu muncul terinspirasi dari pendukung Persebaya dari luar Surabaya. Mereka selalu hadir dan mendukung Persebaya saat bertanding dengan bondo nekat (bekal nekat). Berangkat tanpa uang. Penting berangkat,” ujarnya.
Bahkan, ia teringat saat menjadi pengurus Persebaya, Persebaya harus mengganti kerugian atas kerusakan kereta api akibat oleh ulah Bonek.
Menurut pandangan Dahlan, kerusuhan itu bisa terjadi karena kurangnya perhatian pengurus kepada suporter.
“Suatu hati ketika pulang dari Jakarta, Bonek merusak kereta api. Bagi saya, itu karena mereka lapar, tidak punya uang buat makan atau minum sehingga mereka ngamuk. Saat itu saya (Persebaya) harus mengganti rugi kerusakan kereta api,” katanya.
“Periode berikutnya disediakanlah nasi bungkus sampai 5000, ternyata setelah itu aman-aman saja,” ujarnya.
Lalu sejak tahun 2017, putra sulungnya Azrul Ananda memegang kendali manajemen Persebaya dengan status sebagai presiden klub.
Dia mengakui, sejak saat itu, Bonek yang sekarang bukanlah Bonek yang dulu. Perlahan, stigma negatif pada Bonek seperti suka berbuat anarkis, menurut Dahlan perlahan mulai hilang.
Bonek bertransformasi menjadi suporter yang penuh kreatifitas. Sebagai ayah, Dahlan Iskan tak malu untuk memuji apa yang telah dilakukan anaknya tersebut
“Sekarang dibawah kepengurusan Azrul, Bonek sudah sangat berubah. Kalau pas zaman saya dulu Bonek 1.0, sekarang sudah Bonek 4.0,” kata Dahlan diiringi gelak tawa.(tin/den)