Jumat, 22 November 2024

PPHN Bisa Dihadirkan Melalui Konsensus Politik

Laporan oleh Muchlis Fadjarudin
Bagikan
Focus Group Discussion (FGD) MPR RI tentang PPHN di Media Center gedung Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (11/10/2021). Foto: Faiz suarasurabaya.net

Profesor Didin Damanhuri Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Institut Pertanian Bogor menilai, rencana hadirnya Pokok Pokok Haluan Negara (PPHN) adalah kemajuan dibandingkan dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) yang hanya berbasis visi presiden terpilih.

Karenanya, rencana adanya PPHN yang sudah merupakan konsensus Parpol-Parpol dalam beberapa tahun terakhir, menurutnya sangat perlu untuk didukung.

“Jika menghadirkan PPHN melalui amandemen dirasakan bisa menimbulkan kegaduhan politik, MPR RI sebenarnya bisa menghadirkan PPHN tanpa amandemen. Tapi melalui konsensus politik. Kita pernah punya pengalaman saat reformasi, konsensus politik menetapkan tidak boleh mengubah pembukaan Undang-Undang Dasar, sehingga amandemen keempat konstitusi, perubahan terhadap pembukaan Undang-Undang Dasar tidak pernah dilakukan. Bagaimana teknisnya, mungkin para ahli hukum tata negara bisa mengkajinya lebih jauh,” kata Didin dalam Focus Group Discussion (FGD) MPR RI tentang PPHN, di Media Center gedung Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (11/10/2021).

Hadir sebagai narasumber di antaranya Bambang Soesatyo Ketua MPR RI, dan Abdul Latief Pendiri Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI).

Didin menjelaskan, negara seperti Amerika Serikat dan juga beberapa negara Eropa tidak memiliki perencanaan jangka panjang dalam pembangunannya karena mereka bermazhab market oriented. Namun harus diingat, Amerika kini sudah akan disalip oleh Tiongkok, Korea Selatan, dan juga Jepang, yang merupakan negara-negara yang memiliki perencanaan pembangunan jangka panjang.

“Pada tahun 1950-an, Jepang bahkan sudah memiliki perencanaan pembangunan hingga 50 tahun ke depan. Begitupun dengan Tiongkok. Karenanya, keberadaan PPHN merupakan kemajuan dibandingkan dengan berdasarkan RPJMN yang hanya berbasis kepada visi presiden terpilih. Sekaligus menjadi advokasi substansial tentang butuhnya haluan jangka panjang pembangunan sebagai konsekuensi dari pasal 33 UUD NRI Tahun 1945 ayat 1 yang berbunyi: Perekonomian ‘disusun’. Jadi bukan diserahkan semata kepada pasar bebas,” jelas Didin.

Bambang Soesatyo Ketua MPR RI menekankan kehadiran PPHN tidak dimaksudkan untuk memperlemah konsensus dalam penguatan sistem presidensial.

PPHN justru akan tetap disesuaikan dan memperkuat sistem presidensial yang mana presiden dan wakil presiden dipilih secara langsung oleh rakyat.

Selain itu, PPHN juga akan membuat presiden dan wakil presiden punya masa jabatan yang tetap dan tidak bisa dijatuhkan hanya karena alasan politik.

Substansi PPHN hanya mengatur hal-hal yang bersifat filosofis dan turunan pertama dari Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1975). Dengan demikian, hadirnya PPHN sama sekali tidak akan mengurangi ruang dan kewenangan pemerintah untuk menyusun cetak biru pembangunan.

“Keberadaan Pokok-Pokok Haluan Negara ini justru semakin melengkapi sempurnanya bangunan ketatanegaraan Indonesia, yaitu Indonesia memiliki Pancasila sebagai ideologi dan dasar negara, UUD NRI Tahun 1945 sebagai haluan konstitusional negara, dan PPHN sebagai kebijakan dasar pembangunan negara,” kata Bamsoet.

Dia menegaskan, pentingnya kehadiran haluan negara, berangkat dari sebuah kebutuhan akan hadirnya prinsip-prinsip yang bersifat direktif, yang akan menjabarkan prinsip-prinsip normatif dalam konstitusi menjadi kebijakan dasar politik negara, sebagai panduan atau pedoman bagi penyelenggaraan pembangunan nasional.

Setelah MPR tidak lagi memiliki wewenang menetapkan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN), fungsi GBHN digantikan dengan Undang-Undang Nomor 25/2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, dan Undang-Undang 17/2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) Tahun 2005 -2025. 

“Namun dalam implementasinya, berbagai peraturan perundang-undangan tersebut masih menyisakan beragam persoalan. Selain kecenderungan eksekutif sentris, dengan model sistem perencanaan pembangunan nasional yang demikian, memungkinkan RPJPN dilaksanakan secara tidak konsisten dalam setiap periode pemerintahan. Karena implementasi Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) didasarkan kepada visi dan misi presiden dan wakil presiden terpilih dalam pemilihan umum, maka masing-masing dapat memiliki visi dan misi yang berbeda dalam setiap periode pemerintahan,” kata Bamsoet.

Abdul Latief menjelaskan, urgensi PPHN bukanlah masalah setuju atau tidak setuju. Melainkan sudah menjadi keharusan. Karena keberadaan haluan negara, saat dirinya menjabat Menteri Tenaga Kerja (1993-1998), bisa melahirkan kebijakan upah minimum regional, tunjangan hari raya (THR), hingga melahirkan Jamsostek.

Bahkan, karena menyadari pentingnya haluan negara, dia sampai rela mengundurkan diri sebagai Wakil Badan Pekerja MPR RI, yang pada saat reformasi melakukan amandemen konstitusi untuk mencabut kewenangan MPR RI dalam merumuskan dan menetapkan haluan negara. 

“Dari kecil kita sudah diajarkan orang tua tentang pentingnya memiliki perencanaan hidup. Begitupun dengan bangsa dan negara, sudah menjadi keharusan untuk memiliki perencanaan. Pada saat Bung Karno, dikenal dengan Pembangunan Semesta Berencana. Soeharto Presiden meneruskan menjadi Garis-Garis Besar Haluan Negara. Pada saat reformasi, perencanaan yang melibatkan partisipasi publik tersebut hilang. Tidak heran jika sampai saat ini kita seperti terlihat linglung,” kata Abdul Latief. (faz/den)

Berita Terkait

Surabaya
Jumat, 22 November 2024
27o
Kurs