Prof Yudi Latief mantan Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila menilai aneh terjadinya perbedaan perlakuan, standar etika dan norma dalam tata kelola kenegaraan soal kasus 57 mantan pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Pernyataan Yudi ini menyikapi pemecatan 57 pegawai KPK yang tidak lolos dalam Tes Wawasan Kebangsaan (TWK), namun kemudian Kapolri menawarkan kepada 57 pegawai tersebut untuk menjadi ASN di Polri.
“Dalam satu negara yang sama kok bisa terjadi perbedaan treatment, di KPK ditolak tapi kok di Polri diambil. Itu artinya kan tata kelola negara kita itu seperti bisa ditekuk-tekuk, bisa disiasati dan bisa dikompensasikan tanpa ukuran-ukuran kepantasan dan standar yang jelas,” ujar Yudi yang juga pakar aliansi kebangsaan, ditemui di gedung Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (6/10/2021)
Menurut Yudi, seharusnya negara mempunyai standar-standar etika, nilai, dan norma yang sama. Artinya, kalau dari KPK ditolak, mestinya lewat suatu proses verifikasi standarisasi norma-norma dan tata kelola kenegaraan yang diterima oleh berbagai lembaga lain.
“Keputusan di KPK itu berarti memang tidak dianggap memenuhi standard operation procedure yang proven, pruden dan yang clean atau jelas. Sehingga masih membuka celah yang lain untuk mengangkatnya lagi. Berarti kan masih dipertanyakan keputusan KPK itu,” tegas Yudi.
Kata Yudi, TWK harusnya dilakukan ketika seseorang melamar menjadi pegawai ASN, bukan serabutan seperti yang dilakukan KPK.
“Boleh kita terapkan sejumlah tes itu, namanya juga rekrutmen. Tapi mestinya sekali saja. Nggak kemudian serabutan, sekali kali di tes tes tes tes gitu, mendatangkan tester dari luar. Kan harus terlembaga, nggak bisa seperti pemadam kebakaran. Kalau begitu bagaimana untuk memastikan pegawai ini sesuai dengan apa yang disebut dengan nilai-nilai kebangsaan Pancasila atau whatever itu, lewat institusinya apa? Seharusnya kode etik gitu,” ungkapnya.
Yudi menjelaskan, kode etik ini bukan hanya berisi aturan perilaku profesional tapi termasuk di dalamnya nilai-nilai Pancasila. Kalau ada pegawai tidak memenuhi kode etik, sebaiknya dipanggil oleh komite etik dan mendapat pembinaan.
“Kalau merasa ada sesuatu yang dirasa pada pegawai itu mulai agak menyimpang ya dibina. Kan sudah ada Diklat, Diklatpim 1,2,3, ini kan untuk memastikan seluruh pegawai itu comply dengan nilai-nilai itu. Jadi kalau ada masalah dengan pegawai jangan tunjuk hidung keluar. Itu berarti sistem internal pembinaan di dalam kepegawaian tuh udah nggak bener. Masalahnya di internal, kontrol internal, pembinaan kepegawaian. Itu yang harus disalahkan, Jangan kemudian malah melemparkan tanggung jawabnya oleh penyusup what ever lah. Perhatikan mekanisme di dalam, itu jadi kritik internal dalam,” ujar Yudi.
Polemik 57 mantan pegawai KPK yang akan direkrut Polri, kata Yudi menunjukkan telah terjadi krisis legitimasi di negara ini.
“Krisis legitimasi, hubungan antar lembaga negara sering mencla mencle, saling menafikan. Krisis legitimasi, siapa-siapa yang harus kita percaya gitu. Berarti kuat-kuatan ini antar lembaga, bukan kewenangannya apa gitu, tapi atas dasar siapa yang paling kuat. Jadi kan seperti hukum rimba lagi,” kata Yudi.
Yudi menilai, polemik 57 mantan pegawai KPK ini mencerminkan betapa demokrasi Indonesia ini sekarang tidak lagi atas dasar Rule of Law, tapi negara telah menggunakan hukum sebagai instrumen untuk memperjuangkan kepentingannya saja. Termasuk rekomendasi Komnas HAM dan Ombudsman yang sampai sekarang belum ditanggapi presiden.
“Negara berjalan tidak atas dasar prinsip- prinsip good governance, tapi atas dasar kuat-kuatan aja gitu. Bukan atas dasar mandat fungsi Komnas HAM dibentuk dengan mandat apa, kewenangan apa, yang ternyata kan tidak dipertimbangkan. Artinya itu kan tergantung suka-suka, kuat-kuatan lah,” pungkas Yudi.(faz/dfn/iss)