Khairul Fahmi Co-Founder Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) mengatakan, ancaman terhadap sistem pertahanan Republik Indonesia kini lebih kompleks. Tidak beraturan dan bisa datang dari mana saja.
Tidak hanya secara militer, tapi juga bisa meliputi ancaman sumber daya alam, budaya, dan ideologi. Dia menyebut ancaman ini sebagai perang hibrida.
Selain perang hibrida, Khairul menyebutkan ada pula perang asimetris yang harus diwaspadai rakyat Indonesia
“Contoh sederhana perang asimetris adalah pertarungan korporasi yang bisa berdampak pada kebijakan pemerintah dan lingkungan, sehingga menganggu kedaulatan negara,” kata Khairul kepada Radio Suara Surabaya di Hari Ulang Tahun ke-76 TNI, Selasa pagi (5/10/2021).
Bentuknya bisa berupa pelanggaran yang dilakukan secara terus menerus, seperti praktik pembukaan lahan oleh korporasi dengan cara pembakaran.
Menurutnya, pelanggaran itu sudah termasuk sebagai ancaman bagi warga dan negara, karena ruang hidup masyarakat menjadi sangat buruk.
Saat ini Indonesia baru mencoba mengidentifikasi ancaman-ancaman ini di ruang siber. “Ruang siber kita ini dipenuhi disinformasi, sehingga untuk menyampaikan kewaspadaan maupun ancaman kita membutuhkan ruang atau media yang interaktif,” kata Khairul.
Tidak hanya itu, menurut Khairul, masyarakat juga membutuhkan bahasa yang sederhana dan lebih membumi untuk memahami ancaman itu.
Masyarakat juga perlu berperan aktif untuk memvalidasi informasi untuk mencegah tersebarnya disinformasi.
“Ancaman saat ini lebih banyak bermunculan di dunia siber yang nantinya bisa merambah ke berbagai sektor. Kita semua harus menjadi bentengnya. Pemerintah ataupun TNI memang paling bertanggung jawab. Namun peran dari masyarakat juga sangat dibutuhkan. Masyarakat harus berpartisipasi aktif dan bersinergi dengan TNI,” tuturnya. (wld/iss)