Sabtu, 23 November 2024

Moeldoko: Gap Budaya di Masyarakat Jadi Tantangan Kebhinekaan

Laporan oleh Agustina Suminar
Bagikan
Moeldoko Kepala Staf Kepresidenan. Foto: Antara

Berbicara soal kebhinekaan dan keragaman budaya, Moeldoko Kepala Staf Kepresidenan RI mengatakan ada gap (jarak) akibat tingkat pengetahuan, pengalaman, hingga pendidikan yang berbeda.

Hal itulah yang bikin implementasi kebhinekaan dan keberagaman menjadi tidak mudah. Untuk itu dia mengingatkan sekaligus mengajak masyarakat bersama-sama memperkecil gap kebudayaan dengan saling menghormati keyakinan dan budaya di masyarakat.

“Untuk itu, tugas kita semua mengecilkan gap itu. Satu, bagaimana kita tidak bosan-bosan melakukan sosialisasi bahwa kita tidak lagi mengenal mayoritas minoritas. Karena bangsa yang utuh tidak lagi membahas mayoritas atau minoritas,” ujarnya di program Lazuardi Radio Suara Surabaya bertema “Keberagaman Budaya dan Pemahaman untuk Kesatuan”, Kamis (30/9/2021).

Menurut Moeldoko, ada beberapa hal yang menyebabkan adanya gap budaya di masyarakat. Salah satunya adalah benturan budaya, yakni pemaksaan satu budaya untuk masuk ke lingkungan masyarakat dengan budaya berbeda.

“Mungkin karena ada benturan budaya, jadi memaksakan budaya dari luar ke dalam. Padahal kita sudah memiliki budaya-budaya luhur,” ujarnya.

Dia juga mencermati, saat ini banyak terjadi ‘perang budaya’ yang bisa berdampak pada perpecahan horizontal.

Karenanya ada tiga hal yang menurutnya perlu diwaspadai dari dampak perang budaya oleh masyarakat. “Ada tiga target yang disasar dari apa itu perang kebudayaan. Satu, meruntuhkan keyakinan dalam beragama,” katanya.

Kedua, lanjutnya, melumpuhkan keyakinan atas ideologi dan dikursus soal faham -isme yang banyak terjadi di Indonesia.

“Kita memahami Pancasila itu ideologi terbuka, tapi pertikaian soal isme isme tidak bisa kita abaikan. Kalau kita tidak memperkuat ideologi kita duluan, maka dengan mudah ideologi Pancasila menjadi tereliminasi,” tuturnya.

Ketiga, perang kebudayaan bisa meruntuhkan kebanggaan atas bangsanya. Moeldoko menjelaskan, mulanya, orang-orang dalam suatu bangsa akan mempertanyakan lagi tentang kebanggaan atas bangsanya, lalu perlahan kebanggaan itu hilang.

Pria yang juga Ketua Umum Partai Demokrat hasil Kongres Luar Biasa (KLB) itu menambahkan, ketiga hal di atas harus diwaspadai oleh masyarakat agar tidak mudah diadu domba.

“Baik radikalisme atau isme isme yang lain, karena ada ideologi Pancasila maka harus diperkuat. Pancasila ada peradaban tertinggi bagi bangsa Indonesia karena di situ mengenal Tuhan, keadilan, permusyawarakatan, persatuan dan macam-macam,” ujarnya.

Moeldoko juga menyayangkan konflik horizontal yang masih terjadi, terutama isu SARA (suku, ras, agama dan antargolongan) di negara dengan keanekaragaman seperti Indonesia.

“Kalau kita flashback 1928, mestinya kita malu karena dulu dalam kondisi itu, saudara-saudara kita sudah memikirkan jauh ke depan tentang keindonesiaan. Mestinya sudah 100 tahun yang lalu, kok sekarang kembali lagi berkaitan dengan SARA, saya sendiri sebagai bangsa malu,” imbuhnya.

Ia menegaskan kembali, bahwa persatuan sebuah bangsa adalah mimpi bersama, bukan hanya dimiliki oleh para founding father atau pendiri bangsa. Untuk itu, ia menekankan pentingnya merefleksikan kembali nilai-nilai kebhinekaan dan kebanggaan kepada bangsa sendiri.(tin/den)

Berita Terkait

Surabaya
Sabtu, 23 November 2024
26o
Kurs