Sabtu, 23 November 2024

Anis Matta: Kekerasan Terhadap Pemuka Agama Bisa Perburuk Psikologis Masyarakat

Laporan oleh Muchlis Fadjarudin
Bagikan
nis Matta dalam Gelora Talks bertajuk 'Kekerasan terhadap Pemuka Agama Terus Berulang, Di manakah Negara? di Jakarta, Rabu (29/9/2021). Foto: Istimewa

Anis Matta Ketua Umum Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia mengatakan, kekerasan terhadap para pemuka agama  yang kembali marak seperti peristiwa yang direncanakan bisa memperburuk suasana psikologis masyarakat (public mood).

Kata Anis, kasus-kasus kekerasan terhadap ulama yang terus berulang dapat menimbulkan tafsir konspirasi dan dengan mudah dijadikan alat provokasi.

Akibatnya, situasi pandemi Covid-19 yang berlarut dan polarisasi pasca pilpres yang tidak kunjung usai, ditambah kasus kekerasan terhadap ulama dan perusakan terhadap rumah ibadah membuat masyarakat mudah curiga dan melemah kepercayaannya kepada institusi keamanan dan penegak hukum.

Hal ini, menurut dia, akan memunculkan amuk atau pengadilan jalanan (street justice) oleh masyarakat, karena penjelasan dari Polri sebagai institusi negara yang berwenang dinilai belum memadai.

“Sekarang saja mulai muncul potensi street justice, seperti misalnya dengan imbauan beberapa Ormas Islam agar kadernya mengawal dan menjaga para ulama,” kata Anis Matta dalam Gelora Talks bertajuk ‘Kekerasan terhadap Pemuka Agama Terus Berulang, Di manakah Negara? di Jakarta, Rabu (29/9/2021).

Diskusi ini dihadiri KH Muhyiddin Junaidi Wakil Ketua Dewan Pertimbangan MUI, Kombes Pol Ahmad Ramadhan Kabagpenum Divhumas Polri, serta Reza Indragiri Amriel Kriminolog & Ahli Psikologi Forensik.

Menurut Anis, para ulama dan pemuka agama selama ini menjadi kelompok paling rapuh secara keamanan dan gampang sekali menjadi korban dan sasaran.

“Sampai sekarang kita tidak mendapatkan penjelasan memadai tentang mengapa? Peristiwa yang tampak seperti direncanakan itu, selalu dijelaskan sebagai peristiwa random,” jelasnya.

Di sinilah, kata Anis Matta, peran sentral Polri diperlukan dalam upaya meredam keresahan masyarakat dalam persoalan tersebut, dengan memberikan penjelasan yang memadai dapat memberikan rasa aman dan keadilan bagi masyarakat.

“Yang diperlukan adalah proses penegakan hukum yang  transparan dan tuntas. Penjelasan yang obyektif akan mampu meredakan kecurigaan, kemarahan dan ketidakpercayaan di masyarakat. Kita semua  berkepentingan menjaga kepercayaan publik kepada institusi kepolisian dan mencegah orang untuk melakukan tindakan yang tidak legal,” katanya.

Anis berharap Polri, MUI dan Kriminolog bisa duduk bersama mencari motif terhadap kekerasan para pemuka agama, meskipun pada akhirnya ditemukan fakta-fakta aneh seperti kasus di Tangerang yang bermotif dendam dan perselingkuhan.

“Tetapi yang lebih penting adalah mencegah nyawa tidak hilang, meski ketika bicara motif akan menemukan fakta-fakta aneh. Kita harus bersama-sama mencegah agar situasi ini tidak menimbulkan amuk dan hukum jalanan. Kepolisian, MUI dan akademisi perlu mengkaji lebih mendalam bagaimana mencegah kasus serupa tidak terulang kembali,” ujarnya.

Sementarq, Muhyiddin mengatakan, respons pemerintah terhadap maraknya kekerasan dan pembunuhan terhadap ulama masih kurang memuaskan.

“Hampir semua pelaku kekerasan terhadap ulama dinyatakan orang dalam gangguan jiwa (ODGJ) dan berhenti hanya sampai pada tahap pemeriksaan polisi, jarang yang sampai ke pengadilan,” kaya Muhyiddin.

Kondisi seperti inilah yang membuat ketidakpuasan masyarakat, sehingga penafsiran masyarakat beragam, termasuk dikait-kaitkan dengan PKI.

“Apalagi kekerasan yang menimpa ulama itu terjadi di bulan September yang secara historis memang memiliki keterkaitan antara tragedi para ulama yang diakibatkan oleh kekejaman PKI,” tuturnya.

Reza Indragiri mengatakan tidak semua ODGJ tidak bisa dipidanakan. Mengacu pada Pasal 44 ayat 2 KUHP, ODGJ sebenarnya bisa juga diproses hingga pengadilan.

“Nanti bisa saja hakim memutuskan bahwa ODGJ ini harus disembuhkan alias di bawa ke Rumah Sakit Jiwa. Jadi tidak hanya berhenti prosesnya di kepolisian,” kata Reza.

Menurut Reza, selama Pasal 44 ayat 2 tersebut tidak direalisasikan.

“Jadi kita tidak bisa menyalahkan masyarakat bila muncul sikap skeptis dan keresahan di mereka,” katanya.

Kombes Pol Ahmad Ramadhan Kabagpenum Div Humas Polri menjelaskan, selama ini kejadian kekerasan yang menimpa para ulama belum terlihat adanya skenario yang mengarah kepada kekerasan ke pemuka agama.

“Berdasarkan hasil pemeriksaan dengan fakta-fakta yang ada, tidak ada keterkaitan antara satu kejadian dengan kejadian serupa yang lain,” kata Ramadhan.

Polri sebagai penegak hukum, lanjut Ramadhan, selalu profesional dalam setiap penanganan kasus, yakni sesuai fakta-fakta yang akurat dan valid.

“Kami berharap, masyarakat untuk tidak mengaitkan kepada sesuatu yang tidak berdasarkan fakta,” katanya.

“Soal perasaan, tentu sama, karena mayoritas polisi juga muslim. Tapi hukum memerlukan pembuktian, bukan dengan perasaan,” pungkas dia.(faz/dfn/ipg)

Berita Terkait

Surabaya
Sabtu, 23 November 2024
30o
Kurs