Sabtu, 23 November 2024

Pengamat Politik Soroti Gaya Hidup Anggota Dewan dan Ongkos Politik yang Tinggi

Laporan oleh Agustina Suminar
Bagikan
Dimas Oky Nugroho pengamat politik sekaligus pendiri lembaga konsultan politik Akar Rumput Strategic Consulting (ARSC) dalam Live Instagram KelaSS Pintar, bertema 'Gonjang-Ganjing Gaji Dewan, Rabu (22/9/2021). Foto: Instagram/suarasurabayamedia

Beberapa waktu yang lalu, ramai diperpincangkan warganet di sosial media tentang gaji dan tunjangan anggota dewan yang angkanya cukup membuat masyarakat tercengang.

Keriuhan itu bermula saat Krisdayanti anggota DPR RI dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) membongkar gaji yang ia terima, antara lain gaji pokok Rp16 juta, tunjangan Rp59 juta, dana aspirasi Rp450 juta lima kali dalam setahun, belum lagi uang kunjungan Dapil sekitar Rp140 juta delapan kali dalam setahun.

Pernyataan Krisdayanti tersebut alhasil mendapat banyak respon dari warganet, mengingat selama ini anggota dewan dianggap kurang membawa aspirasi publik dalam lingkup legislatif. Mereka juga menyoroti penerimaan tunjangan yang besar, sedangkan kasus korupsi juga masih terus terjadi.

Dimas Oky Nugroho pengamat politik sekaligus pendiri lembaga konsultan politik Akar Rumput Strategic Consulting (ARSC) angkat bicara mengenai hal ini. Menurutnya, anggota dewan saat ini menghadapi tantangan moralitas dalam menjalankan tugasnya.

Menurutnya, seorang pemimpin apalagi wakil rakyat, harus memiliki tanggung-jawab moral terhadap publik. Namun, salah satu ‘godaan’ yang dihadapi para anggota dewan adalah gaya hidup yang mewah. Padahal, sebagai wakil rakyat sekaligus pemimpina, mereka seharusnya memiliki gaya hidup yang sederhan dan lebih sering turun ke masyarakat.

“Gaya hidup ini yang harus ditekan, bagaimana politisi kita ini semakin sederhana semakin bangga. Jangan 3 bulan pertama naik angkutan publik, besoknya naik mobil mewah,” kata Dimas Oky dalam Live Instagram KelaSS Pintar Suara Surabaya, bertema ‘Gonjang-Ganjing Gaji Dewan, Rabu (22/9/2021).

“Tidak ada contoh dari politisi kita yang menunjukkan gaya hidup yang sederhana. Naik busway, angkot, sepeda motor misalnya ke kantor, yang jadi role model bagi legislator lain. Saya pikir (soal) gaya hidup,” tambahnya.

Menurutnya, selama ini citra yang disuguhkan oleh para anggota dewan masih belum menjadi suri tauladan maupun seorang pemimpin yang ideal di mata publik. Hal itu, lanjutnya, juga tidak sesuai dengan nilai-nilai yang dipegang oleh founding father Indonesia yang bahkan mereka terjun ke masyarakat juga sebagai pendidik.

“Gaya hitup itu harusnya ditunjukkan, makin berkuasa makin turun ke lapangan. Founding father kita, katakanlah bung Karno, bahkan dia itu seorang pendidik. Para politisi harus menyadari bahwa mereka adalah pemimpin, punya tanggung jawab besar,” kata pria lulusan doktor di bidang antropologi politik dari University of New South Wales itu.

Menurutnya, negara memberikan tunjangan dan fasilitas lengkap bagi kepada anggota dewan, dengan harapan saat kebutuhan mereka tercukupi, maka mereka dapat bekerja dengan optimal dan tidak tergiur melakukan korupsi.

Namun yang terjadi, tidak sedikit anggota dewan yang terjerat korupsi dan tahun ke tahun. Seharusnya, hal ini menjadi pertimbangan kembali penerimaan gaji dan tunjangan para anggota dewan, apakah sudah sesuai dengan kinerja yang dilakukan.

Dimas melanjutkan, sistem politik di Indonesia tidak bisa dipungkiri juga memerlukan biaya yang tinggi. Jika sistem politik di Indonesia menjadi salah satu faktor pendorong maraknya korupsi di kalangan politikus di Indonesia, maka sistem politik tersebut harusnya dapat diubah dan direformasi.

“Sumber penyakitnya apa,nih? kalau memang kaitannya dengan ongkos politik, yang harus kita benahi bagaimana politik kita ini jangan dibuat semakin mahal, menjadi bisnis politik yang melibatkan banyak kepentingan di sana”, imbuhnya.

Meski begitu, Dimas menegaskan bahwa masyarakat wajib tahu tentang gaji dan penghasilan yang diterima anggota dewan. Hal itu tertuang dalam Undang-Undang Nomor 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.

“Ada UU KIP, yang mana publik berhak mengetahui informasi berkaitan dengan lembaga publik, aktor negara, penyelenggara negara termasuk DPR, yang menggunakan ABPB maupun APBD,”  jelasnya.

Dimas menambahkan, anggota dewan harus juga harus terbuka apa saja yang telah ia lakukan saat menjadi DPR. Ia mencontohkan, misal saat pemilihan, si A menjanjikan akan membangun jalan, maka saat terpilih ia juga harus merealisasikan janjinya itu.

Bahkan proyek pembangunan jalan yang dijanjikan sebelumnya dapat ditulis dalam spanduk bahwa pembangunan jalan tersebut dibuat oleh si A sebagai inisiator dengan kerjasama dari B, C, D.

“Biar publik tahu. Well publish, well knowledge. Nggak cuma dikasih saja (uangnya) tapi tidak melakukan pendidikan politik dan transparansi yang baik,” tambahnya.(tin/ipg)

Berita Terkait

Surabaya
Sabtu, 23 November 2024
26o
Kurs